Untuk dapat bertahan, Garuda berupaya menekan utangnya dari US$ 9,8 miliar menjadi US$ 3,69 miliar. Tiga elemen utama restrukturisasi utang itu antara lain dengan mengurangi jumlah pesawat dari 202 armada pada 2019 menjadi 134 pada 2022.
Pengurangan jumlah armada ini sejalan dengan pemangkasan rute serta tipe pesawat. Garuda nantinya akan berfokus menerbangi rute potensial dalam negeri. Sejurus dengan rencana itu, emiten berkode GIAA tersebut bakal mengurangi jenis armadanya dari total 13 jenis menjadi hanya tujuh jenis.
Elemen kedua, Garuda akan melakukan negosiasi utang atas kontrak sewa pesawat yang masih akan dipakai perseroan pada masa mendatang. Melalui renegosiasi tersebut, diharapkan biaya sewa pesawat Garuda dan anak usahanya, Citilink, turun 40-50 persen dari tarif saat ini.
Ketiga, Garuda akan menempuh pembatalan nilai utang dan tunggakan secara material. Pengurangan utang akan dilakukan untuk tipe-tipe kreditur tertentu. Untuk kreditur BUMN, seperti Airnav, Gapura, dan bank-bank Himbara, perseroan bakal menerbitkan zero coupon bond, yaitu instrumen surat utang tanpa bunga hingga jatuh tempo.
Pilot berada di ruang kemudi pesawat Garuda Indonesia Airbus A330-900neo bercorak khusus yang menampilkan visual masker pada bagian moncong pesawat di Hanggar GMF AeroAsia Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis, 1 Oktober 2020. Pemberian gambar masker pada pesawat merupakan dukungan Garuda Indonesia terhadap program edukasi pemerintah melalui kampanye 'Ayo Pakai Masker'. ANTARA/Muhammad Iqbal
Selanjutnya untuk tunggakan utang terhadap Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, lessor, vendor, sukuk, bank swasta, hingga pembelian pesawat yang ditangguhkan, Garuda akan menerbitkan new coupon debt. Sementara untuk utang pajak dan karyawan hingga obligasi wajib konversi, Garuda akan tetap menghitung sebagai utang penuh.
Tiko menyatakan sukses tidaknya upaya restrukturisasi ini tergantung negosiasi dengan para lessor. Menurut dia, Garuda memiliki tantangan untuk menempuh negosiasi dengan total 32 lessor dengan karakteristik yang berbeda-beda. “Memang yang challenging adalah lessor yang kita ingin kembalikan pesawatnya. Harus ada sweetener supaya mereka setuju dengan proposal kita."
Di samping itu, penyelesaian utang di Garuda Indonesia juga dinilai tidak semudah perusahaan pelat merah lainnya lantaran mayoritas kreditur dan lessor merupakan entitas internasional, sehingga kompleks secara legal.
“Yurisdiksinya ada di Indonesia, London, ada yang Singapura. Jadi yurisdiksinya beragam. Untuk menyelesaikan (utang Garuda), kami menghadapi isu legal,” ujar dia. Di sisi lain penyelesaian utang ini juga berkejaran dengan waktu lantaran perseroan tidak memiliki likuiditas yang cukup saat ini.