TEMPO.CO, Jakarta - Penyelamatan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. memasuki babak baru setelah Kementerian Badan Usaha Milik negara meluncurkan proposal restrukturisasi utang perseroan. Berbekal skema tersebut, Kementerian BUMN dan Garuda Indonesia mulai melakukan negosiasi dengan lessor, kreditur hingga vendor-vendor termasuk BUMN.
Dalam rapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat kemarin, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyampaikan bahwa nasib Garuda Indonesia saat ini berada di tangan kreditur. Pasalnya, tanpa persetujuan kreditur, pemegang saham juga tidak mungkin bisa bergerak menyelesaikan restrukturisasi.
Kartika mengatakan pihaknya terus aktif melakukan negosiasi dengan para kreditur. Harapannya, para kreditur bisa menerima skema restrukturisasi yang diajukan dan akhirnya perseroan bisa bertahan.
"Kalau tidak ada pengurangan utang, neraca yang technically bankrupt tidak akan bisa survive," ujar Kartika dalam rapat yang ditayangkan melalui akun YouTube Komisi VI DPR, Selasa, 9 November 2021.
Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN Erick Thohir (kanan) dan wakilnya, Kartika Wirjoatmodjo, memberikan keterangan seusai rapat dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, di Jakarta Pusat, Selasa, 29 Oktober 2019. Rapat tersebut membahas proyek kereta layang ringan atau LRT Cibubur-Dukuh Atas yang akan beroperasi pada 2021. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Per September 2021, Garuda tercatat mengalami defisit neraca sebesar US$ 2,8 miliar atau sekitar Rp 40 triliun. Dengan situasi itu, perseroan sudah tidak lagi membayar kewajiban jangka panjang. Kewajiban yang dimaksud terdiri atas pembayaran utang terhadap bank-bank milik negara (Himbara) serta penyelesaian global sukuk.
Perusahaan juga sudah memangkas gaji para pegawainya sejak 2020. Sejumlah pembayaran gaji, termasuk untuk pejabat perseroan, ditahan. Kartika menyebut posisi utang Garuda mencapai US$ 9,8 miliar. Utang itu terdiri atas tunggakan pembayaran kepada lessor senilai US$ 6,3 miliar.
Nilai utang Garuda tersebut lebih tinggi ketimbang yang diumumkan sebelumnya senilai US$ 7 miliar. Sedangkan aset perseroan hanya US$ 6,9 miliar.
Lebih jauh, Kartika yang akrab disapa dengan Tiko itu menyatakan persoalan keuangan di maskapai ekor biru terjadi akibat kombinasi korupsi masa lalu dan penurunan pendapatan lantaran pandemi Covid-19. “Pada masa lalu ada tata kelola yang sangat buruk. Ini jadi isu utama,” ujarnya.