TEMPO.CO, Jakarta - Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang perubahan iklim COP26, di Glasgow, Skotlandia, menjadi pusat perhatian dunia. Presiden Joko Widodo atau Jokowi hadir di Glasgow dan memberi pidato selama hampir 5 menit dalam Bahasa Indonesia.
Berstatus sebagai negara pemilik hutan tropis di dunia, banyak pihak berharap Indonesia punya sikap tegas dalam forum tersebut. Namun justru dalam pidatonya, Jokowi dinilai fokus pada pembahasan tentang pencapaian-pencapaian lama. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan pemerintah malah melewatkan sejumlah isu hal besar.
"Menyampaikan capaian yang sudah dilakukan dan mendorong tanggung jawab negara maju dari konteks pendanaan. Dan tentu saja ini adalah posisi yang sama di negara-negara berkembang," kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Yuyun Harmono, Selasa, 2 November 2021.
Jokowi dalam pidatonya memang menegaskan Indonesia berkomitmen ikut dalam penanganan perubahan iklim. Dalam penjelasannya, ia mengatakan, laju deforestasi turun signifikan dan terendah dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, kebakaran hutan juga diklaim turun 82 persen di tahun 2020. "Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim," kata Jokowi.
Tak berhenti di situ, Jokowi meyakinkan dunia bahwa Indonesia telah memulai rehabilitasi hutan mangrove dan ditargetkan mencapai seluas 600 ribu hektar pada 2024 atau terluas di dunia. Tiga juta hektar lahan kritis antara tahun 2010 sampai 2019 juga ia sebut telah direhabilitasi.
"Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia akan mencapai carbon net sink, selambatnya tahun 2030," kata Jokowi.
Presiden Jokowi selanjutnya memaparkan rencana-rencana dan perkembangan yang tengah dilakukan Indonesia untuk menjadi negara yang lebih ramah lingkungan. Rencana itu dimulai dari pembangunan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, pemanfaatan biofuel, hingga pengembangan industri berbasis clean energy.
Meski demikian, Jokowi menilai rencana itu tak akan cukup. Ia meminta dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju untuk memobilisasi pembiayaan iklim dan pembiayaan inovatif serta pembiayaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau.
"Penyediaan pendanaan iklim dengan pendanaan negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net zero emissions dunia," kata Jokowi.