Tak hanya dari segi konsumen, Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Laboratorium Indonesia (PDS PatKLln) pun mengkritik kebijakan tersebut. Ketua PDS Patklin, Aryati, khawatir upaya pemerintah menekan harga batas tes malah mengorbankan kualitas tes.
"Daripada mengorbankan kualitas dan keamanan maka ya mending enggak usah (pakai) tes PCR lah," ujar Aryati. Ia mengatakan pemerintah semestinya memperketat pelaksanaan protokol kesehatan, termasuk pada fasilitas transportasi, untuk memastikan kesehatan para pejalan.
Menurut Aryati, turunnya batas harga tes PCR itu membuat pilihan penggunaan alat PCR menjadi terbatas. Misalnya, penggunaan alat PCR dengan sistem tertutup atau closed system yang sangat meminimalisasi kontaminasi, akan tidak masuk secara harga.
Pasalnya, menurut dia, untuk satu cartridge saja, biayanya mencapai Rp 550 ribu. Belum lagi ditambah dengan biaya-biaya lainnya seperti listrik hingga sumber daya manusia.
"Jadi ada beberapa alat bagus berkualitas yang Closed System yang ekstraksi dan deteksi PCR dlm satu alat pengerjaannya, di running dengan minimalisasi jumlah SDM-nya. Tapi harganya dengan Rp 495 ribu saja belum masuk. Jadi memang alat-alat tertentu akhirnya jadi enggak bisa dipakai," ujar Aryati.
Seperti diketahui, sebelum ditetapkan turun menjadi Rp 275 ribu per tes, harga tes PCR adalah Rp 475 ribu di Jawa dan Bali. Aryati mengatakan lembaganya sebelumnya sudah audiensi terkait persoalan itu sejak pemerintah menurunkan harga batas tes dari Rp 900 ribu menjadi Rp 495 ribu, namun tidak ada tindak lanjutnya. "Malah sekarang diturunkan jadi Rp 300 ribu."
PDS PatKlin sebelumnya menjelaskan ada dua sistem pengerjaan PCR, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka dapat menggunakan reagen apa saja, tidak perlu berasal dari produk yang sama dengan alat ekstraksi maupun alat PCR. Namun, sistem terbuka dikerjakan secara manual, membutuhkan waktu yang lama, serta perlu ketelitian yang tinggi.
Sementara, sistem tertutup harus menggunakan reagen dari produk yang sama dengan alat ekstraksi maupun alat PCR. Sistem ini bekerja secara otomatis serta waktu pengerjaannya lebih singkat. Karena itu, sistem terbuka lebih murah dibandingkan dengan sistem tertutup. Namun, sistem terbuka tetap memerlukan biaya pemeriksaan yang tidak murah.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman menilai pemerintah tidak tepat dalam memilih strategi tes untuk kesehatan masyarakat, sehingga menimbulkan dilema. Pasalnya, tes PCR sejatinya adalah untuk diagnosa klinis atau tes konfirmasi setelah adanya skrining.
"Jadi PCR itu untuk konteks saat ini tidak tepat, tidak efektif untuk dijadikan strategi kesehatan massal," ujar Dicky.
Ia mengatakan persoalan itu bukan berasal dari efektivitasnya yang diragukan, melainkan secara cost effective dan kontinuitas secara strategi kesehatan masyarakat hal itu tidak mumpuni dan bukan pilihan terbaik saat ini. Menurut dia, lebih baik pemerintah mengizinkan kembali penggunaan hasil rapid test antigen sebagai syarat perjalanan.
"PCR harusnya tes konfirmasi atau diagnostik. karena kalau dipaksakan pun publik tidak mampu karena tidak cost effective, belum keterbatasan waktu dan sumber daya. Kualitas menjadi masalah," ujarnya. Dengan persoalan itu, ia khawatir langkah pemerintah justru menimbulkan perkara baru.
Soal kualitas tes, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir mengatakan BPKP sudah melakukan investigasi di lapangan tentang ketersediaan BHP di Indonesia. "Kita bisa menjamin alat-alat dan BHP tersedia, sehingga tidak ada alasan RS dan faskes tidak lakukan pemeriksaan PCR," ujar dia.
Ia mengatakan pemerintah juga akan melakukan pengawasan dan pembinaan untuk memastikan laboratorium mengikuti ketentuan Kemenkes. Apabila laboratorium itu pada akhirnya tidak mengikuti ketentuan pemerintah, khususnya dari sisi tarif, maka bisa diberi sanksi seperti penutupan laboratorium dan pencabutan izin operasional.
Sementara itu, juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah terus berkoordinasi dengan produsen serta lembaga terkait mengenai implementasi kebijakan testing untuk mengefisienkan harga semaksimal mungkin. Sehingga, tes itu semakin terjangkau bagi masyarakat.
Sejalan dengan itu, juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan ketentuan syarat perjalanan hingga saat ini masih dibahas bersama kementerian dan lembaga terkait, dengan koordinasi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemariman dan Investasi. "Kami akan ikuti hasil pembahasan tersebut," ujar dia.
CAESAR AKBAR
BACA: Harga Turun ke Rp 275 Ribu, Wajib Tes PCR Diperluas ke Moda Transportasi Lain?