Catatan pertama soal kualitas udara Ibu Kota yang melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) menurut Charlie, diabaikan Pemerintah DKI dalam melakukan langkah pencegahan dan penanggulangan.
Kedua, warga masih sulit mengakses air bersih lantaran swastanisasi air masih berlanjut. Permasalahan air, kata dia, ditemukan di pinggiran kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tak mampu. Kualitas air di Ibu Kota juga kian memburuk.
Ketiga, penanganan banjir belum mengakar pada beberapa penyebab banjir. Keempat, penataan kampung kota berupa community action plan (CAP) yang belum partisipatif. Salah satu penataan kampung CAP itu di Kampung Akuarium, Jakarta Utara. "Namun dalam penerapannya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Akuarium," ujar Charlie.
Kelima, pemerintah DKI dinilai tak serius memperluas akses terhadap bantuan hukum. Keenam, masyarakat masih sulit mendapatkan tempat tinggal. Anies justru memangkas target program hunian DP Rp 0 dari 232.214 unit menjadi 10 ribu unit. Hal itu, kata dia, menunjukkan Anies tak serius dalam memenuhi janji kampanyenya.
Ketujuh, tidak ada intervensi signifikan dari Pemerintah DKI untuk mengatasi masalah warga yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Kedelapan, penanganan pandemi Covid-19 masih setengah hati. Kesembilan, masih ada penggusuran paksa di era Anies Baswedan. Terakhir, LBH mencatat reklamasi masih berlanjut.
Rapor merah itu menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Ketua Fraksi PDI Perjuangan Gembong Warsono menganggap rapor merah itu sudah tepat diberikan ke Anies. Dia mengatakan faktanya memang sejumlah janji Anies saat mencalonkan sebagai gubernur kini tak belum juga terealisasi.