Taiwan telah hidup di bawah ancaman invasi Cina sejak pemerintah Republik Cina yang kalah melarikan diri ke pulau itu pada tahun 1949 setelah kalah perang saudara dengan Komunis. Tidak ada perjanjian damai atau gencatan senjata yang pernah ditandatangani.
Baru-baru ini Taiwan berupaya untuk mencari dukungan internasional, terutama Barat, untuk membendung ancaman Cina di Asia-Pasifik.
Dalam kunjungan tingkat tinggi Prancis ke Taipei Rabu kemarin, senator senior Prancis dan mantan menteri pertahanan Alain Richard mengatakan Taiwan harus disebut sebagai "sebuah negara". Komentar ini membuat Cina marah.
Richard membahas kontribusi penting Taiwan di bidang kemajuan manusia, tetapi tidak menyebutkan meningkatnya ketegangan militer dengan Cina. Tetapi adalah Amerika Serikat yang telah menjadi sekutu utama Taiwan melawan Cina sejak dulu.
Kemajuan militer Cina untuk pertama kalinya membuat potensi penaklukan Taiwan semakin mungkin. Amerika Serikat ingin menggagalkan invasi apa pun tetapi dominasi militernya di Asia terus terkikis. Kesiapsiagaan militer Taiwan sendiri telah mengendur.
Presiden Cina Xi Jinping.[REUTERS]
Xi Jinping sekarang memimpin ketika militer Cina sedang berada di atas angin.
Dikutip dari New York Times, beberapa pakar berpendapat bahwa Xi Jinping, yang telah menyiapkan panggung untuk memerintah untuk masa jabatan ketiga mulai tahun 2022, tergoda untuk menaklukkan Taiwan sebagai piala kekuasaannya.
Sedikit yang percaya perang sudah dekat atau sudah di ujung tanduk, sebagian karena dampak ekonomi dan diplomatik akan berbahaya bagi Cina. Namun bahkan jika penerbangan jet tempur Cina ke zona identifikasi udara hanya dianggap Taiwan sebagai tekanan politik, bukan awal dari perang, pengaruh keuangan, politik, dan militer Cina telah membuat menjaga keamanan pulau itu menjadi upaya yang sangat kompleks.
Taiwan dan China terakhir bergabung dalam pertempuran dalam skala besar pada tahun 1958, ketika pasukan Cina melakukan pengeboman lebih dari sebulan di pulau Kinmen dan Matsu yang dikuasai Taiwan, termasuk pertempuran laut dan udara.
Menurut Reuters, Cina dan Taiwan hampir berperang beberapa kali sejak tahun 1949, terakhir menjelang pemilihan presiden tahun 1996. Kemudian, Cina melakukan uji coba rudal di perairan dekat pulau itu dengan harapan dapat mencegah orang memilih Lee Teng-hui, yang dicurigai Cina memiliki pandangan pro-kemerdekaan. Lee menang telak dalam pemilu.
Taiwan mengatakan Cina memiliki ribuan rudal balistik jarak pendek dan menengah serta rudal jelajah yang diarahkan ke Taiwan, dan mengklaim Cina menjalankan kampanye disinformasi online yang canggih untuk merusak kepercayaan pada pemerintah.
Cina memiliki angkatan bersenjata terbesar di dunia, dan mereka telah dengan cepat memodernisasi, menambahkan armada pesawat tempur siluman, kapal induk dan kapal selam baru, di bawah program ambisius yang dipimpin Xi Jinping.
Sementara Amerika Serikat berkewajiban membantu menyediakan sarana bagi Taiwan untuk mempertahankan diri di bawah Undang-Undang Hubungan Taiwan 1979. Cina selalu bereaksi dengan marah terhadap penjualan senjata AS ke Taiwan dan telah berulang kali menuntut agar penjualan alutsista dihentikan. Cina juga menyalahkan Amerika Serikat atas ketegangan terbaru karena dukungannya kepada pemerintah Taiwan.
Militer Taiwan yang jauh lebih kecil sebagian besar dipasok oleh Amerika Serikat, meskipun Tsai Ing-wen telah mendukung produksi senjata dalam negeri, termasuk mengembangkan rudal jarak jauh dan kapal perang pembunuh kapal induk baru yang bersenjata lengkap.
Angkatan udara Taiwan khususnya terlatih dengan baik, tetapi para ahli mengatakan pulau itu kemungkinan hanya bisa bertahan selama beberapa hari jika terjadi serangan Cina kecuali Amerika Serikat dengan cepat datang membantunya.
Sampai baru-baru ini, Amerika Serikat percaya dapat menahan ambisi teritorial Cina, tetapi superioritas militer yang telah lama dipegangnya mungkin tidak cukup. Ketika Pentagon menyelenggarakan latihan perang pada Oktober 2020, satu "tim biru" Amerika berjuang melawan persenjataan baru Cina dalam simulasi pertempuran di Taiwan, New York Times melaporkan.
Sementara Cina sekarang lebih percaya diri, sebagian karena banyak pejabat, termasuk Xi Jinping, berpandangan bahwa kekuatan Amerika telah goyah. Kegagalan Amerika Serikat dengan pandemi Covid-19 dan pergolakan politiknya telah memperkuat pandangan itu.
Beberapa penasihat dan mantan perwira di Cina berpendapat Amerika Serikat tidak lagi memiliki keinginan untuk mengirim pasukan jika perang pecah di Taiwan. Bahkan menurut beberapa mantan perwira Cina, di bawaj kondisi tertentu, Tentara Pembebasan Rakyat Cina mungkin menang jika Amerika Serikat betul-betul mengirim pasukan bantuan ke Taiwan.
Baca juga: Presiden Xi Jinping Bersumpah Satukan Kembali Cina dan Taiwan
REUTERS | NEW YORK TIMES | GLOBAL TIMES