Dengan demikian pada Oktober, Biotis sudah bisa melakukan uji klinik fase I untuk 100 orang, fase kedua 400 orang, dan fase ketiga 3.00 orang. Menurut Laksana, selama proses berlangsung, penelitian menghadapi risiko kegagalan di setiap etapenya.
Dari evaluasi Juni lalu, ia mengemukakan ada beberapa masalah fundamental. Namun dia tidak menggamblangkan persoalan yang dimaksud.
“Tetapi ya ini harus dimaklumi karena belum berpengalaman, baik periset maupun farmasi, sehingga tidak dimitigasi sejak awal. Ini menjadi PR bagi BRIN untuk menyiapkan segala hal, khususnya dari pembelajaran pandemi ini,” kata Laksana.
Guna menekan tingkat kegagalan penelitian, BRIN melakukan pendekatan dengan berbagai pihak di luar negeri untuk berkolaborasi mempercepat pengembangan vaksin. Dia tidak mendetailkan negara mana saja yang telah digandeng untuk bekerja sama.
Hal yang sama diungkapkan Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam. Ia menyebut sejumlah perusahaan farmasi, seperti Bio Farma, menyusun strategi jangka pendek untuk melakukan riset vaksin bersama perusahaan luar negeri, seperti Sinovac, Sinopharm, dan Genexine. Kerja sama itu berupa transfer teknologi.
“Sedangkan strategi jangka menengah panjang adalah pengemabgan vaksin dari proses hulu mulai riset, pengembangkan bibit vaksin, uji praklinis, uji klinis, dan produksi,” ujar Khayam.
Berdasarkan peta jalan pengembangan vaksin, Kementerian Perindustrian mencatat sampai akhir tahun pemerintah menargetkan lembaga pengkaji telah menyelesaikan uji klinis fase dua.
Adapun pada kuartal I, penelitian memasuki tahap upscaling prototype, kemudian kuartal II tahap uji praklinis, dan kuarta III-IV uji klinis fase I. Pada awal 2022, diharapkan vaksin merah putih telah melewati uji klinis fase III dan pada kuartal III atau IV telah memperoleh emergency use authorization atau EUA.