TEMPO.CO, Jakarta - Sepekan lebih sejak Taliban menguasai Afghanistan, kondisi di negara ini belum stabil. Tak hanya keamanan, kondisi ekonomi juga carut marut.
Harga makanan mulai merangkak naik. Begitu pula harga bahan bakar minyak yang terus melambung karena banyaknya warga yang meninggalkan Kabul demi menghindari Taliban. Sementara lapangan pekerjaan hilang, terutama untuk pegawai pemerintahan.
Jauh sebelum jatuh ke tangan Taliban, Afghanistan termasuk negara miskin. Pada Maret lalu, Bank Dunia menggambarkan negara ini rapuh secara ekonomi dan sangat tergantung pada bantuan.
Sebanyak 75 persen pengeluaran publik didanai bukan oleh pendapatan pemerintah melainkan dari hibah lembaga internasional dan negara-negara seperti Amerika Serikat.
Setelah Taliban merebut Kabul, para donor mengumumkan akan mematikan keran keuangan untuk waktu dekat. Amerika Serikat mengumumkan akan membekukan miliaran dolar dalam cadangan darurat yang disimpan oleh bank sentral Afghanistan di Federal Reserve Bank of New York.
Baca Juga:
Dana Moneter Internasional mengatakan bahwa tahap pendanaan senilai US$ 450 juta yang semula akan dikirimkan ke pemerintah Afghanistan minggu depan, akan ditangguhkan. Jerman juga mengumumkan bahwa bantuan yang dijadwalkan sebesar $300 juta tidak jadi dikirimkan.
Meski demikian, dalam 20 tahun terakhir ekonomi Afghanistan telah berkembang jauh lebih besar. Pada 2002, saat Taliban digulingkan, produk domestik bruto resmi Afghanistan hanya US$ 4 miliar. Pada 2020, menurut data Bank Dunia, PDB negara itu naik hampir lima kali lipat menjadi US$ 19,8 miliar.
Di kota-kota besar, proyek infrastruktur membawa perubahan di bidang teknologi. Telepon pintar merambah ke berbagai lapisan masyarakat.
Berkembangnya ekonomi Afghanistan sebagian besar disuplai oleh bantuan asing. Defisit perdagangan besar-besaran, sedangkan di sisi lain 44 persen tenaga kerja negara itu didominasi sektor pertanian dengan berpenghasilan rendah.
Selama 20 tahun pula, Afghanistan seolah memiliki dua pemerintahan. Menurut Alex Zerden, pejabat dari Kementerian Keuangan Amerika Serikat di Afghanistan selama 2018-2019, Taliban memiliki kemampuan dalam bidang keuangan.
Taliban menangguk keuntungan dari penjualan opium, penambangan ilegal dan penyelundupan. Dana itu digunakan untuk menghidupi para anggotanya dan dan memasok operasi militer. Kelompok Taliban kini mulai menarik biaya bea cukai untuk ekspor dan impor.
Sejumlah negara yang merapat ke Taliban juga diprediksi memungkinkan kelompok ini mengelola perekonomian mereka. China diundang untuk menggarap proyek rekonstruksi di Afghanistan, Iran memasok bahan bakar minyak hingga Rusia yang juga ikut mendekat ke Taliban.
Graeme Smith, seorang peneliti Afghanistan menyatakan selama Pakistan, Cina dan Iran terus berdagang dengan Afghanistan, mereka akan memberikan sumber pendapatan yang stabil dan menguntungkan.
Baca juga: Taliban Hukum Mati Saudara Penerjemah untuk Tentara AS di Afghanistan
REUTERS | AL JAZEERA | VOA