Sementara restoran/rumah makan dan kafe yang berada dalam gedung/toko/mal tertutup hanya menerima delivery/take away dan tidak menerima makan di tempat (dine-in).
Atas polemik tersebut, Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Jodi Mahardi berpendapat.
"Mau 20 menit, 15 menit, 30 menit, 40 menit akan selalu dipermasalahkan tergantung dari sisi mana kita melihat. Bisa dinilai terlalu lama atau terlalu cepat," kata Jodi saat dihubungi, Selasa, 27 Juli 2021.
Meski begitu, Jodi menegaskan bahwa inti aturan ini adalah membatasi masyarakat agar tak berlama-lama berada di restoran atau warung makan, seperti warteg. Apalagi di saat pandemi seperti ini, butuh kesadaran semua pihak untuk melaksanakan protokol kesehatan.
Jodi lantas menyoroti keberadaan varian Delta yang kemampuan penularannya sangat tinggi. Karena itu, menurut dia, pembatasan waktu makan untuk menghindari kerumunan sangat perlu dilakukan.
"Jangan makan terlalu lama dan hindari bicara saat makan. Karena kita enggak tahu apakah kita bawa virus atau orang sebelah kita bawa virus," kata Jodi.
Senada dengan Jodi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan aturan ini mungkin saja terdengar lucu, namun diputuskan dengan sejumlah pertimbangan dan juga sudah diberlakukan negara lain.
"Mungkin kedengaran lucu, tapi di luar negeri, di beberapa negara lain sudah lama diberlakukan itu. Jadi, makan tanpa banyak bicara dan kemudian 20 menit cukup, setelah itu memberikan giliran kepada anggota masyarakat yang lain," ujar Tito dalam konferensi pers daring, Senin, 26 Juli 2021.
Berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 24 Tahun 2021, teknis pelaksanaan aturan ini akan diserahkan kepada pemerintah daerah. Menurut Tito, prinsip utama Inmendagri itu ialah soal eksekusi.
Ia harap aturan itu bisa dijalankan dan ditegakkan oleh pemerintah daerah, Satpol PP, dan aparat Polri-TNI, serta pelaku usaha dan masyarakat. "Tolong masyarakat juga bisa memahami kenapa perlu ada batas waktu tersebut. Prinsipnya saya kira 20 menit cukup bagi kita untuk makan di suatu tempat," kata Tito Karnavian.
Dari sisi ekonomi, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan pelonggaran untuk warung makan selama PPKM Level 4 sulit diimplementasikan di lapangan. Di sisi lain efek dari kebijakan itu terhadap omzet para pengusaha warung makan juga tidak langsung signifikan.
"Faktor utama karena makan ditempat diperbolehkan tapi problemnya adalah rendahnya daya beli masyarakat dan mobilitas masih dibatasi," ujar Bhima kepada Tempo, Rabu, 28 Juli 2021.
Contohnya saja pada warteg. Bhima mengatakan selama ini pelanggan yang makan ditempat kebanyakan pekerja, baik kantoran maupun pekerja sektor informal seperti driver ojol. "Kalau kondisi kantor tutup akan pengaruh juga ke pendapatan warung."
Menurut Bhima, langkah terbaik yang memiliki imbas signifikan adalah dengan mempercepat penanganan pandemi, baru melakukan pelonggaran. Langkah itu dinilai lebih membantu pemulihan pendapatan warung kecil, dibanding kebijakan buka tutup yang tanggung seperti saat PPKM.
"Sementara, pemerintah bisa berikan bantuan tunai ke pengusaha kecil Rp 2-4 juta per bulan dan untuk pekerja bantuan subsidi upahnya minimum 1 juta per orang," kata Bhima.
BACA: PPKM Level 4 Batasi Makan 20 Menit, Berapa Durasi Makan yang Ideal?
CAESAR AKBAR | EGI ADYATAMA | BUDIARTI UTAMI | DEWI NURITA | ANTARA