Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia (Core), Yusuf Rendy Manilet menjelaskan bahwa selama ini salah satu kriteria utang yang lazim digunakan ialah rasio utang terhadap PDB. Rasio utang dianggap aman jika tidak melebihi angka 60 persen terhadap PDB. Aturan ini kemudian banyak diadaptasi oleh banyak negara termasuk di dalamnya Indonesia.
"Meskipun diadopsi oleh banyak negara, rasio ini mengundang perdebatan di antara para scholars. Beberapa scholars meragukan batas aman 60 persen, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia," ujar Yusuf. Beberapa di antaranya menyebutkan bahwa sebenarnya batas yang lebih pas untuk Indonesia ada di angka 40 persen.
Jika merujuk pada pandangan ini, Yusuf mengatakan rasio utang saat ini perlu menjadi perhatian pemerintah. Apalagi pada saat yang bersamaan kemampuan untuk membayar juga sedang dalam periode yang tidak baik. Musababnya, penerimaan pajak terdampak melemahnya perekonomian.
"Sudah tentu saat ini pekerjaan rumah pemerintah saat ini, yaitu bagaimana mengurangi proporsi pembiayaan belanja APBN melalui utang, hal ini hanya bisa dilakukan dengan cara mendorong rasio pajak yang lebih tinggi," kata dia.
Ekonom senior sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini mengatakan utang yang menjadi tanggungan pemerintah sebenarnya bukan hanya utang di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 6.527 triliun. Namun, juga utang Badan Usaha Milik Negara sebesar Rp 2.143 triliun.
"Utang BUMN keuangan sebesar Rp 1.053,18 triliun dan BUMN non-keuangan sebesar Rp 1089,96 triliun. Jadi, total utang pemerintah pada masa Jokowi sekarang sebesar Rp 8.670 triliun," kata Didik.
Belum lagi, BUMN diminta dan dibebani tugas untuk pembangunan infrastruktur. Sehingga, kalau gagal bayar atau bangkrut, maka bebannya harus ditanggung APBN dab menjadi bagian dari utang pemerintah. "Warisan utang Presiden Jokowi kepada presiden berikutnya bisa lebih Rp 10 ribu triliun."
Apabila persoalan utang dan bunga utang yang besar ini dibiarkan, ia khawatir APBN akan lumpuh terkena beban utang ini dengan pembayaran bunga dan utang pokok yang sangat besar. "APBN bisa menjadi pemicu krisis ekonomi," ujar dia.
Kalau 20 tahun lalu krisis 1998 dipicu oleh nilai tukar, Didik mengatakan saat ini krisis bisa dipicu oleh APBN berat digabung dengan krisis pandemi lantaran penanganan yang dinilai salah kaprah sejak awal. "Jadi, gabungan dari kedua faktor itu potensial memicu krisis."