TEMPO.CO, - Upaya negara-negara kaya yang tergabung dalam G7 untuk membantu menyelesaikan pandemi virus corona dipandang setengah hati. Komitmen G7 yang ingin menyumbangkan 1 miliar dosis vaksin Covid-19 bagi negara-negara miskin di dunia dianggap tidak menyelesaikan masalah.
Mantan perdana menteri Inggris, Gordon Brown, menilai janji G7 itu mirip dengan "menyerahkan mangkuk pengemis" daripada memberikan solusi nyata. "Ini adalah kegagalan besar jika kita tidak bisa pergi dalam satu atau dua pekan ke depan dengan rencana yang benar-benar menyingkirkan dunia dari COVID sekarang," katanya dikutip dari Reuters, Selasa, 15 Juni 2021.
Menurut Brown, negara-negara kaya perlu membangun rencana komprehensif untuk memvaksinasi dunia. Ia menilai vaksinasi massal terhadap virus corona hanya dipandang penting untuk memulihkan perekonomian.
Senada dengan Brown, Alex Harris dari Wellcome, sebuah yayasan amal sains dan kesehatan yang berbasis di London, menantang G7 untuk menunjukkan kepemimpinan politik di tengah krisis kesehatan ini. "Yang dibutuhkan dunia adalah vaksin sekarang, bukan akhir tahun ini. Kami mendesak para pemimpin G7 untuk meningkatkan ambisi mereka," ucap dia.
Aktivis Oxfam mengenakan kepala papier mache yang menggambarkan para pemimpin G7 bersantai di pantai saat aksi protes iklim di Pantai Swanpool dekat Falmouth, selama KTT G7, di Cornwall, Inggris, 12 Juni 2021. REUTERS/Phil Noble
Lembaga-lembaga internasional seperti WHO dan IMF pun menilai strategi G7 untuk membantu mengalahkan pandemi virus corona kurang kuat. Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan diperlihatkan 11 miliar dosis vaksin Covid-19 untuk memvaksinasi dunia terhadap virus mematikan. Angka tersebut jauh dari 1 miliar yang dijanjikan oleh kepemimpinan G7.
Tedros mengatakan bahwa untuk benar-benar mengakhiri pandemi, tujuannya harus memvaksinasi 70 persen populasi dunia pada tahun depan ketika KTT G7 dilangsungkan di Jerman. “Untuk melakukan itu, kita membutuhkan 11 miliar dosis,” katanya.
Kristalina Georgieva, direktur pelaksana IMF, menilai sumbangan kelebihan vaksin ke negara berkembang merupakan langkah pertama yang baik. Namun, kata dia, lebih banyak pekerjaan akan diperlukan untuk membantu negara-negara benar-benar memvaksinasi populasi mereka.
“Ini adalah keharusan moral, tetapi merupakan keharusan bagi pemulihan ekonomi untuk tetap bertahan karena kita tidak dapat membuat dunia terbelah menjadi dua jalur tanpa konsekuensi negatif,” kata Georgieva.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menghadiri konferensi pers yang diselenggarakan oleh Asosiasi Koresponden Persatuan Bangsa-Bangsa Jenewa (ACANU) di tengah wabah Covid-19 di markas WHO di Jenewa Swiss 3 Juli, 2020. [Fabrice Coffrini / Pool melalui REUTERS]
Menurut data Universitas Johns Hopkins, upaya vaksinasi sejauh ini sangat berkorelasi dengan kekayaan. Amerika Serikat, Eropa, Israel, dan Bahrain jauh di depan dalam memvaksinasi warganya ketimbang negara lain yang ekonominya di bawah mereka
Badan amal Oxam mengatakan karena kebanyakan orang membutuhkan dua dosis vaksin, dan mungkin suntikan penguat untuk mengatasi varian yang muncul, sebabnya dunia butuh 11 miliar dosis untuk mengakhiri pandemi.
"Jika yang terbaik yang para pemimpin G7 bisa kelola adalah dengan menyumbangkan 1 miliar dosis vaksin, maka pertemuan puncak ini (KTT G7) gagal," kata manajer kebijakan kesehatan Oxfam, Anna Marriott.
Menurut Oxam, pemimpin G7 seharusnya juga mendukung pengabaian hak paten di balik vaksin. Terlebih Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyetujui usulan tersebut. Presiden Prancis Emmanuel Macron tampaknya memiliki pandangan serupa.
"Negara-negara G7 lainnya harus mengikuti jejak mereka. Kehidupan jutaan orang di negara berkembang seharusnya tidak pernah bergantung pada niat baik negara-negara kaya dan perusahaan farmasi yang haus keuntungan," tutur Marriott.
Usulan ini juga disampaikan oleh WHO. Tedros mengatakan penting bagi negara-negara untuk sementara mengesampingkan hak paten untuk vaksin virus corona.
Petugas kesehatan menunjukan vial vaksin COVID-19 AstraZeneca dosis pertama untuk prajurit TNI AU di Perawatan Umum Lanud Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, 1 April 2021. TEMPO/Prima Mulia
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengatakan 1 miliar dosis tidak cukup untuk menutupi kebutuhan negara-negara miskin di Afrika. Kami membutuhkan lebih dari itu. Kami ingin membuat vaksin sendiri tetapi kami tidak memiliki kapasitas," ucap dia.
Usulan pembebasan hak paten ini tentu mendapat penolakan dari perusahaan farmasi. Mereka mengatakan hal itu akan menghambat inovasi dan tidak banyak membantu meningkatkan pasokan.
Salah satu negara G7, yakni Inggris, yang mendukung proyek nirlaba vaksin Oxford-AstraZeneca, pun menganggap pembebasan paten tidak diperlukan.
Baca juga: Ratusan Mantan Kepala Negara Desak G7 Bantu Vaksinasi COVID-19