TEMPO.CO, Jakarta - Cina pada Senin melonggarkan kebijakan Keluarga Berencana (KB) dengan mengizinkan pasangan memiliki tiga anak setelah laporan survei medio Mei ini mencatat penurunan terendah angka kelahiran Cina.
Sebelumnya Cina telah mengubah kebijakan satu anak menjadi dua anak pada 2016, tetapi kebijakan itu rupanya tidak mengubah banyak pertambahan angka kelahiran.
Pada laporan sensus yang dirilis pertengahan Mei tahun ini, pertumbuhan populasi Cina merosot ke level terendah sejak sensus resmi 1950-an dalam 10 tahun terakhir hingga 2020.
Sejak kebijakan satu anak diberlakukan pada akhir 1970-an, populasi di Cina daratan meningkat 5,38% atau 1,41 miliar. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan peningkatan 5,84% atau 1,34 miliar pada sensus 2010. Jumlah ini berarti Cina nyaris meleset dari target yang ditetapkan pada 2016 untuk meningkatkan populasinya menjadi sekitar 1,42 miliar pada 2016, menurut Reuters, dikutip 1 Juni 2021.
Penurunan kelahiran membuat Beijing khawatir ekonomi Cina bisa terhambat karena populasi yang menua, sehingga membuat Xi Jinping melonggarkan lagi pembatasan kelahiran anak.
"Perubahan kebijakan akan datang dengan langkah-langkah pendukung, yang akan kondusif untuk meningkatkan struktur populasi negara kita, memenuhi strategi negara untuk secara aktif mengatasi populasi yang menua," kata kantor berita resmi Xinhua setelah pertemuan politbiro yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping.
Di antara langkah-langkah itu, Cina akan menurunkan biaya pendidikan untuk keluarga, meningkatkan dukungan pajak dan perumahan, menjamin kepentingan hukum perempuan yang bekerja dan menekan mahar, kata kantor Xi Jinping, tanpa memberikan rincian.
Anak-anak bermain di tepi pantai di daerah Shekou di Shenzhen, provinsi Guangdong, Cina 15 Maret 2021. [REUTERS / David Kirton]
Cina memiliki tingkat kesuburan hanya 1,3 anak per perempuan pada tahun 2020, menurut data terbaru. Ini setara dengan masyarakat yang menua seperti Jepang dan Italia dan jauh dari sekitar 2,1 yang dibutuhkan untuk tingkat penggantian populasi.
"Jika Cina mempertahankan tingkat kesuburan 1,2, itu berarti generasi berikutnya akan memiliki 40 persen lebih sedikit orang dari yang sebelumnya, tanda yang benar-benar mengkhawatirkan, kata Huang Wenzheng, pakar demografi dan peneliti senior dari Center for China and Globalization, kepada CGTN.
Bahkan jika populasi Cina tidak menurun pada tahun 2020, Huang mengatakan, penurunan poupulasi akan terjadi pada 2021 atau 2022 atau segera.
Tetapi pembatasan kelahiran bukanlah satu-satunya faktor untuk meningkatkan angka kelahiran. Melonggarkan pembatasan jumlah anak yang boleh dimiliki tidak serta-merta menjadi mantra ajaib meningkatkan populasi.
"Orang-orang bukan terganjal oleh batasan dua anak, tetapi oleh biaya yang sangat tinggi untuk membesarkan anak di Cina saat ini. Perumahan, kegiatan ekstrakurikuler, makanan, perjalanan, dan segala sesuatu lainnya bertambah dengan cepat," Yifei Li, sosiolog di NYU Shanghai, kepada Reuters.
"Menaikkan batas itu sendiri tidak mungkin mengubah perhitungan untuk memiliki anak-anak secara signifikan, menurut saya," katanya.
Ye Liu, sosiolog dari King's College London, menyatakan ada tiga tantangan yang perlu dipertimbangkan pemerintah jika ingin kebijakan barunya sukses. Ketiganya adalah biaya membesarkan anak, diskriminasi terhadap ibu hamil di lingkungan pekerjaan, serta minimnya perlindungan terhadap kesejahteraan anak di berbagai industri.
"Fakta di lapangan, tidak ada kebijakan konkrit yang merespon tantangan-tantangan di mana mencegah perempuan untuk (mempertimbangkan) memiliki anak," ujar Liu.
Pasangan bersiap untuk mengambil foto mereka saat pemotretan pernikahan di jalan, di tengah pandemi penyakit coronavirus (COVID-19), di Shanghai, Cina, 31 Mei 2021. [REUTERS / Aly Song]
Zhang Xinyu, seorang ibu satu anak berusia 30 tahun dari Zhengzhou, ibu kota provinsi Henan, mengatakan masalahnya adalah perempuan menanggung sebagian besar tanggung jawab untuk membesarkan anak-anak.
"Jika pria bisa berbuat lebih banyak untuk membesarkan anak, atau jika keluarga bisa lebih mempertimbangkan perempuan yang baru saja memiliki anak, sebenarnya banyak perempuan yang bisa memiliki anak kedua," katanya.
"...Tapi memikirkan gambaran besarnya, secara realistis, saya tidak ingin punya anak kedua. Dan memiliki anak ketiga bahkan lebih mustahil," terang Zhang Xinyu.
Pasangan perkotaan, terutama yang lahir setelah tahun 1990, lebih menghargai hidup mandiri dan karier mereka daripada membangun keluarga meskipun ada tekanan orang tua untuk memiliki anak.
Melonjaknya biaya hidup di kota-kota besar Cina juga menghalangi pasangan untuk memiliki anak.
"Memiliki anak merupakan pukulan telak bagi perkembangan karir perempuan seusia saya," kata Annie Zhang, seorang profesional asuransi berusia 26 tahun di Shanghai yang menikah pada April tahun lalu.
Kedua, biaya membesarkan anak sangat mahal (di Shanghai), katanya, dalam komentar yang dibuat sebelum sensus 2020 diterbitkan.
"Anda mengucapkan selamat tinggal pada kebebasan segera setelah melahirkan," kata Zhang.
Menurut laporan tahun 2005 oleh sebuah lembaga pemikir negara bagian, diperlukan biaya 490.000 yuan (Rp 1 miliar) bagi satu keluarga sederhana di Cina untuk membesarkan seorang anak. Pada tahun 2020, media lokal melaporkan bahwa biaya membesarkan anak di Cina telah meningkat hingga 1,99 juta yuan (Rp 4,3 miliar) atau empat kali lipat dari angka tahun 2005.
"Saya bersedia untuk memiliki tiga anak apabila pemerintah memberikan saya 5 Juta Yuan Cina (Rp 11 miliar)," ujar salah satu warga Cina di media sosial Weibo, menanggapi kebijakan keluarga berencana yang baru.
Baca juga: Mayoritas Warga Cina Tidak Terpikir Punya Tiga Anak Meskipun Diperbolehkan
REUTERS | CGTN