TEMPO.CO, - "Benjamin Netanyahu hidup kembali," tulis kolumnis Ben Caspit di surat kabar Maariv pada 14 Mei seperti dikutip dari Reuters, Selasa, 25 Mei 2021.
Karier politik Benjamin Netanyahu beberapa pekan ini bak Rollercoaster. Meredup usai gagal membentuk pemerintahan koalisi dan tuduhan korupsi, peluangnya untuk kembali menjadi perdana menteri Israel terbuka lagi saat pasukannya membombardir Gaza pada 11 Mei lalu.
Konflik bermula dari serangan ke warga Palestina di Masjid Al-Aqsa dan upaya penggusuran paksa di Sheikh Jarrah di hari-hari terakhir Ramadan. Kelompok Hamas, yang menguasai Gaza, merespon dengan menembakkan rudal ke Israel. Pertempuran pun pecah selama 11 hari.
Micheline Ishay, Direktur program hak asasi manusia di Universitas Denver, mengatakan konflik dengan Palestina mengurangi kebencian publik terhadap Netanyahu. "Di bawah tembakan dan dalam situasi perang, orang cenderung berkumpul di belakang pemerintah yang ada, takut akan roket dan ancaman internal. Dalam pengertian ini, krisis saat ini memperkuat rancangan politik Netanyahu," kata Ishay pada Aljazeera.
Namun gencatan senjata yang Israel dan Hamas sepakati pada Jumat pekan lalu menggerogoti popularitas Netanyahu. Survei Channel 13 menemukan bahwa Netanyahu sulit membentuk pemerintahan jika pemilihan diadakan hari ini, seperti dilaporkan Jerusalem Post.
Hasil survei menunjukkan koalisi pendukung Netanyahu diprediksi menguasai 50 kursi Knesset (parlemen Israel). Sementara partai anti-Netanyahu diperkirakan memperoleh 62 kursi. Delapan kursi sisanya jatuh pada Partai Yamina yang siap untuk diperebutkan.
Ketika ditanya siapa yang akan mereka pilih jika Israel pindah ke sistem pemungutan suara langsung untuk Perdana Menteri, Benjamin Netanyahu meraih 41 persen suara. Namun pesaingnya, Yair Lapid dari Partai Yesh Atid, membayangi dengan 37 persen suara dan 16 persen abstain.
Channel 13 menemukan bahwa 48 persen responden menentang kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas, sementara 40 persen lainnya mendukung, dan 12 persen mengatakan tidak tahu.
Jajak pendapat Channel 13 diterbitkan oleh Profesor Camil Fuchs dan melibatkan 702 responden, 601 di antaranya adalah Yahudi dan 101 di antaranya bukan, dengan margin kesalahan 3,8 persen.
Militan Hamas Palestina turut serta dalam unjuk rasa anti-Israel di Kota Gaza 22 Mei 2021. REUTERS/Mohammed Salem
Jumat pekan lalu Israel dan Hamas sepakat untuk gencatan senjata tanpa komitmen apapun usai dimediasi Mesir. Pihak berwenang menyebutkan jumlah korban tewas di pihak Israel 12 orang dan ratusan lainnya dirawat akibat serangan roket dalam konflik 11 hari itu.
Pejabat kesehatan Gaza mengatakan 232 warga Palestina, termasuk 65 anak-anak, tewas dan lebih dari 1.900 terluka akibat serangan udara Israel. Israel mengatakan telah menewaskan sedikitnya 160 kombatan.
Meski warga Gaza bisa bernapas lega, gencatan senjata ini dinilai rapuh. Pasalnya baik Hamas maupun Israel sama-sama mengklaim menang dan siap menyerang kembali jika ada yang berkhianat. Netanyahu bahkan mengatakan bakal menggempur Gaza dengan kekuatan yang lebih tinggi jika ada satu roket Hamas masuk ke wilayahnya.
Kerapuhan ini sudah terlihat dengan cepat. Beberapa jam setelah kesepakatan tercapai, polisi Israel bentrok dengan warga Palestina yang sedang merayakan gencatan senjata di Masjid Al-Aqsa usai salat Jumat.
Seorang anggota polisi Israel berlari di belakang seorang juru kamera selama bentrokan dengan warga Palestina di kompleks Masjid Al Aqsa, di Kota Tua Yerusalem, 10 Mei 2021. Bentrokan kembali pecah antara pasukan Israel dan warga Palestina di luar Masjid Al-Aqsa pada hari ini Senin, 10 Mei 2021. REUTERS/Ammar Awad
Polisi Israel mengumumkan mereka akan menangkap ratusan warga Palestina di wilayahnya yang diduga ikut aksi duduk dalam memprotes upaya penggusuran di Sheikh Jarrah dan serangan ke Jalur Gaza. Penangkapan ini akan dilakukan dalam beberapa hari ke depan.
Dalam sebuah pernyataan pada Minggu malam, polisi Israel mengatakan sekitar 1.550 orang telah ditangkap sejak 9 Mei dan rencana yang akan datang merupakan kelanjutannya. "Yang bertujuan untuk menuntut para demonstran yang selama dua pekan terakhir ini turun ke jalan di kota-kota besar dan kecil di seluruh Israel," kata kepolisian dikutip dari Aljazeera, Selasa, 25 Mei 2021.
Pernyataan polisi Israel itu menuai kritik. Direktur Jenderal Pusat Hukum Hak Minoritas Arab di Israel Adalah, Hassan Jabareen, menilai operasi itu sebagai perang melawan demonstran Palestina, aktivis politik, dan anak di bawah umur.
"Operasi penangkapan besar-besaran adalah perang militerisasi terhadap warga Palestina di Israel," kata Jabareen dalam sebuah pernyataan. Menurut dia, penangkapan warga Palestina ini bertujuan untuk mengintimidasi dan membalas dendam.
Hal ini pun memunculkan pertanyaan apakah dalam waktu dekat kekerasan akan kembali pecah di Gaza. Terlebih Netanyahu dikenal sebagai orang yang terbiasa memelihara konflik.
Micheline Ishay mengatakan dia tidak percaya bahwa Netanyahu mendukung konflik meskipun ada kaitan yang jelas antara aktivitas politiknya dengan kekerasan terhadap Palestina.
“Benjamin Netanyahu mengizinkan, bahkan memelihara, provokasi domestik melalui Kahanist di Yerusalem, rencana penyitaan properti Arab di Sheikh Jarrah , pemagaran Gerbang Damaskus selama Ramadan, dan aksi polisi di Al-Aqsa," ucap Ishay.
Sumber: REUTERS | ALJAZEERA | JERUSALEM POST
https://m.jpost.com/israel-elections/lapid-gantz-rising-in-first-election-polls-after-gaza-conflict-668939/amp
https://www.aljazeera.com/news/2021/5/18/israel-and-benjamin-netanyahus-war-on-palestine
https://www.reuters.com/world/middle-east/netanyahu-poised-gain-political-lifeline-violence-flares-2021-05-13/