Hal ini, menurut Airlangga, menunjukkan kebijakan pemerintah soal tunjangan hari raya atau THR yang harus dibayar penuh memberi likuiditas di pasar. “Tentu dengan angka-angka tersebut kami optimistis bahwa perekonomian akan kembali berada di jalur trek positif,” katanya.
Selain itu, melihat produk domestik bruto secara kuartalan, grafik pertumbuhan Indonesia sudah membentuk huruf V. Konsumsi pemerintah pada kuartal I/2021 tumbuh 2,96 persen dibandingkan periode sebelumnya. Jalur positif juga terlihat pada kinerja ekspor dan impor. Secara berturut-turut, keduanya tumbuh 6,74 persen dan 5,27 persen.
“Tentu kita harus berkonsentrasi pada konsumsi rumah tangga, LNPRT (lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga), dan terkait PMTB (pembentuk modal tetap bruto/investasi). Ini yang harus kita dorong di kuartal II/2021 agar kita bisa tumbuh lebih tinggi atau di kisaran 7 persen,” ujarnya.
Berbeda dengan pemerintah, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet tak yakin pertumbuhan ekonomi 7 persen bisa tercapai pada kuartal II 2021. Pasalnya, daya beli memang belum kembali seperti sebelumnya pandemi. Padahal, pemulihan ekonomi sangat bergantung pada konsumsi masyarakat.
Belum lagi, beberapa bantuan pemerintah juga sudah ditarik. Bantuan tersebut misalnya subsidi gaji dan juga bantuan sosial tunai untuk kelas pendapatan menengah. Di sisi lain, upah untuk kelas pendapatan bawah juga masih akan relatif dinamis.
Hal ini bisa terlihat dari tingkat pengangguran yang pada bulan Februari juga masih relatif tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Juga, disertai komposisi pekerja informal yang masih cukup tinggi jika dibandingkan sebelum pandemi.
Namun demikian, ia mengatakan pertumbuhan ekonomi itu akan terbantu faktor musiman Ramadan dan Idul Fitri. Di samping itu, ada faktor basis perhitungan kuartal II 2020 yang mengalami kontraksi sehingga secara statistik akan mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal II ke level positif.