TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 75 pegawai KPK yang sedianya dinonaktifkan dari jabatannya setelah dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan, kini bisa bernafas lega. Hal itu setelah Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan resmi perihal tes tersebut. Jokowi menegaskan bahwa hasil TWK tidak dapat menjadi dasar pemberhentian 75 orang pegawai KPK.
"Hasil Tes Wawasan Kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes," kata Presiden Jokowi melalui Youtube Sekretariat Presiden, Senin 17 Mei 2021.
Menurut Presiden, TWK ini dibuat sebagai salah satu syarat peralihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Peralihan status ini adalah bentuk upaya pemberantasan korupsi yang lebih sistematis. Namun ia menegaskan TWK tak bisa dijadikan dasar penilaian begitu saja.
"Kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat masih ada peluang untuk memperbaiki lewat pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan dan perlu segera dilakukan langkah perbaikan di level individual maupun organisasi," kata Jokowi.
Ia pun mengatakan sependapat dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK, yang menyatakan bahwa proses peralihan pegawai KPK mnejadi ASN tak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.
"Saya minta kepada para pihak yang terkait khususnya pimpinan KPK, Menteri PAN RB, dan kepala BKN untuk merancang tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus tes dengan prinsip-prinsip yang saya sampaikan tadi," kata Jokowi.
Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) Yudi Purnomo Harahap mengapresiasi sikap Presiden yang tetap menjaga semangat pemberantasan korupsi dan tidak membiarkan KPK diperlemah. "Alhamdulillah terima kasih, Pak Presiden Jokowi menjaga semangat pemberantasan korupsi dan tidak membiarkan KPK diperlemah," ujar Yudi.
Pada hari pertama kerja setelah libur lebaran, 75 orang pegawai KPK tidak mendapat tugas apapun dari atasannya alias dinonjobkan. Salah satunya, Tri Artining Putri yang tetap ngantor meski nonjob. "Enggak ada (tugas). Tadi pagi datang langsung ke sini (Gedung KPK)," ujar Puput panggilan akrabnya pada Senin, 17 Mei 2021.
Hanya saja, Puput mengaku akan tetap bekerja sampai pimpinan menentukan secara pasti statusnya di lembaga antirasuah. Ia pun juga masih menerima upah bulanan. "Sudah digaji, karena kan di sini sistemnya digaji dulu kan setiap tanggal 1 jadi akan tetap bekerja memenuhi kewajiban," kata dia.
KPK membagikan SK kepada 75 pegawai KPK tak lolos TWK pada 11 Mei 2021. Ada empat poin yang tercantum dalam SK tersebut. Salah satunya, memerintahkan pegawai yang tak lulus agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Putri dan 74 pegawai KPK yang tak lolos TWK, termasuk penyidik Novel Baswedan menyurati pimpinan KPK untuk mempertanyakan isi Surat Keputusan tentang hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Novel menilai banyak hal yang aneh dari isi SK tersebut. Salah satu poinnya adalah perintah untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan.
"Kami tahu perintah tersebut perintah yang aneh karena SK terkait dengan hasil tapi disuruh menyerahkan tugas dan tanggung jawab. Tentunya kami harus lihat dan kami ingin mengklarifikasi, mempertanyakan hal itu dengan surat resmi kepada pimpinan," ucap di Gedung KPK C-1, Jakarta Selatan.
Selain itu, Novel menyatakan jika sebagian besar dari 75 pegawai KPK belum menerima SK tersebut. Namun, ia memastikan bahwa seluruh pegawai akan tetap bekerja. Terlebih mereka sudah mendapatkan upah bulanan. "Oleh karena itu sebagai aparatur tentu kami harus melakukan kewajiban ketika mendapat gaji. Apakah tetap bekerja? Sebisa mungkin bekerja," kata Novel.
Namun Plt Jubir KPK Ali Fikri membantah telah menonaktifkan pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. KPK menyatakan hak dan tanggung jawab para pegawai itu masih tetap berlaku. “Bukan dinyatakan nonaktif, karena semua hak dan tanggung jawab kepegawaiannya masih tetap berlaku,” katanya, Ahad, 16 Mei 2021.
Ali menjelaskan kalimat ‘menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung’ seperti yang ada dalam Surat Keputusan mengenai hasil tes pegawai. Menurut dia, kalimat itu bermakna, apabila saat ini ada pekerjaan yang berpotensi menimbulkan implikasi hukum agar diserahkan lebih dulu kepada atasan langsung, sampai ada keputusan lebih lanjut.
“Perlu kami tegaskan bahwa sejauh ini belum ada keputusan apapun perihal pegawai yang tidak memenuhi syarat tersebut," kata Ali. Ia mengatakan nasib para pegawai ini masih menunggu hasil koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara.
Adapun temuan kejanggalan lainnya pada dokumen hasil TWK. Menurut Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko menyatakan ada sebagian pegawai struktural yang ikut membuka dokumen tersebut. Ia mendapat informasi melalui Ketua Dewan Pengawas, Tumpak Hatorangan Panggabean.
"Dan sudah saya konfirmasi ke yang bersangkutan di antaranya ada alasan-alasan yang tidak masuk akal. Pertama, selalu dianggap bertentangan dengan pimpinan, padahal yang bersangkutan belum pernah ada data pengaduan, belum pernah ada pemeriksaan etik internal," ujar Sujanarko.
Alasan kedua adalah lantaran pegawai dianggap memiliki pemikiran liberal. Ia pun menyayangkan dua alasan tersebut yang dirasa sudah melanggar HAM. "Bisa dibayangkan, orang baru berpikir sudah dihukum," kata Sujanarko.
Anggapan bertentangan dengan pimpinan rupanya muncul dalam proses TWK. Salah satu pegawai bernama Tata Khoiriyah menceritakan hal tersebut. Melalui akun Twitter pribadinya, @tatakhoiriyah, Tata bercerita bahwa ada pegawai yang ditanyakan soal keikutsertaannya dalam demo menolak Firli Bahuri menjadi pimpinan.
"Pertanyaan yang tidak kalah aneh, Apakah anda ikut demo menolak Firli saat menjadi capim KPK? Pertanyaan ini tidak ditanyakan kepada semua pegawai KPK saat sesi wawancara. Saya pun tidak ditanyakan hal ini saat wawancara," cuit Tata. Selain itu, pertanyaan aneh juga soal HTI, FPI hingga masalah pribadi.
Dukungan dan simpati kepada 75 pegawai KPK disampaikan pegiat antikorupsi, ormas, mantan pimpinan KPK hingga guru besar dari sejumlah Universitas. Mereka meminta KPK membatalkan hasil Tes Wawasan Kebangsaan. Para guru besar menilai pelaksanaan tes itu melanggar hukum dan etika publik. “TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK memiliki problem serius,” kata perwakilan Guru Besar, Azyumardi Azra dalam keterangan tertulis.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengatakan TWK bertentangan dengan hukum. Sebab, TWK tidak sekalipun disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 sebagai syarat untuk melakukan alih status pegawai.
Dia mengatakan, Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan dalam putusan uji materi UU KPK bahwa proses alih status kepegawaian tidak boleh merugikan hak pegawai. “Namun, aturan itu ternyata telah diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK dengan tetap memasukkan secara paksa konsep TWK ke dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021,” kata dia.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Kuntjoro mengatakan pertanyaan-pertanyaan dalam TWK memantik kecurigaan. Dia menilai yang pertanyaan yang diajukan kepada para pegawai adalah irasional dan tidak relevan dengan isu pemberantasan korupsi. Dia menilai TWK tidak tepat dijadikan syarat untuk mengangkat pegawai menjadi aparatur sipil negara.
Para Guru Besar itu sepakat bahwa pemberhentian 75 pegawai yang tak lolos TWK bisa mengancam perkara korupsi besar yang sedang ditangani KPK, seperti Bantuan Sosial Covid-19, kasus suap ekspor benih lobster, dan suap mantan Sekretaris Mahkamah Agung. Berikut adalah daftar para Guru Besar yang mendesak Firli Bahuri untuk membatalkan TWK sebagai syarat alih status pegawai.
Meskipun sudah ada pernyataan Presiden agar tidak ada pemberhentian, Ketua KPK Firli Bahuri belum memberikan tanggapan atas instruksi Jokowi tersebut. Namun begitu secara pribadi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan sependapat dengan pernyataan presiden. "Kami sejalan dengan pandangan presiden bahwa sebagaimana pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi (MK) tentang peralihan pegawai KPK ke ASN adalah secara hukum, dan bagaimanapun prosesnya tidak boleh merugikan pegawai KPK," ujar Ghufron melalui pesan teks pada Senin, 17 Mei 2021.
ANDITA RAHMA | ROSSENO AJI | EGY ADYATAMA | BUDIARTI UTAMI | ANTARA
Baca: SAFEnet: Lebih dari 2 Model Serangan ke Peneliti ICW dan Eks Pimpinan KPK