Kondisi pandemi yang belum menunjukkan penurunan, menurut dia, juga menambah beban cukup besar ke perekonomian. Dengan situasi tersebut, ia menilai rencana kenaikan PPN bisa menjadi persoalan yang serius.
Situasi pandemi itu pun nantinya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Tauhid mengatakan Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,8 persen di 2022. Namun, ia meyakini angka tersebut bisa direvisi lagi, baik positif atau negatif tergantung perkembangan vaksinasi.
"Pada 2022 kita belum pulih kenapa dibebankan dengan katakanlah kenaikan pajak yang menurut saya sangat bertentangan dengan teori ekspansi fiskal. Bukannya relaksasi pajak tetapi justru katakanlah dibebani dengan pajak yang menurut saya masih bisa kita hindarkan," ujar Tauhid.
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Tacation Alaysis Fajry Akbar mengatakan kontribusi penerimaan PPN terhadap penerimaan perpajakan dalam postur APBN 2021 mencapai 35,89 persen. "Artinya, kontribusi penerimaan PPN dalam anggaran kita sebenarnya sudah optimal," kata dia.
Menurut dia, sejumlah negara menaikkan tarif PPN sebagai tindak lanjut kebijakan penurunan tarif pajak penghasilan badan. Negara-negara disebut berlomba menurunkan tarif PPh badan usaha lantaran pungutannya bersifat distortif. Sementara itu, PPN dianggap sebagai sumber penerimaan yang dapat diandalkan karena sifatnya netral.
Kendati demikian, Fajry menilai perencanaan kenaikan tarif PPN diperlukan kebijakan yang tepat terkait dengan momentum atau timingnya. Sebab, peluang kenaikan tarif akan sangat bergantung kepada kondisi ekonomi suatu negara. "Ketika pandemi terus mereda dan pemulihan ekonomi sudah mulai terasa, akan ada peluang besar untuk menaikkan tarif PPN," kata dia.
Ihwal banyaknya kritik terhadap rencana pemerintah menaikkan tarif PPN tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengatakan rencana tersebut masih pada taraf diskursus. Ia memastikan pemerintah masih akan mendengarkan masukan dari banyak pihak sebelum memutuskan kebijakan.
"Kita harus siapkan kebijakan pasca pandemi yang sustainable. Maka persiapan harus dimulai. Belum ada angka juga, apalagi 15 persen. Kemenkeu dalam hal ini DJP dan BKF melakukan benchmarking dengan tren kebijakan negara lain terlebih dahulu," tutur Prastowo, Rabu, 12 Mei 2021.
Prastowo berujar pemerintah pun membuka peluang untuk memberlakukan skema multitarif untuk pemungutan PPN. Hal tersebut, menurut dia, membuka ruang pengenaan tarif di bawah 10 persen untuk barang atau jasa kebutuhan masyarakat banyak.
Saat ini, menurut dia, proses perumusan kebijakan itu masih panjang. Bahkan pembahasan dengan parlemen secara formal pun belum dimulai. Nantinya, ia mengatakan pemerintah akan membahas rencana tersebut dengan DPR dan seluruh pemangku kebijakan sebelum memutuskan kebijakan anyar.
"Pada prinsipnya pemerintah tidak mungkin membebani masyarakat di masa pandemi. Tapi penyiapan payung dan format kebijakan harus dimulai sejak sekarang, bagaimana kita memiliki sumber-sumber pembiayaan yang sustain," ujar dia.
CAESAR AKBAR | GHOIDA RAHMAH | BISNIS
Baca Juga: Stafsus Sri Mulyani Pertanyakan Soal Diskusi Tarif Pajak, Ini Kata Indef