Dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022, pemerintah mematok target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.499,3 triliun hingga Rp Rp 1.528,7 triliun. Proyeksi tersebut turun 8,37 persen dibanding proyeksi penerimaan pajak tahun ini senilai Rp 1.444,5 triliun. Selain kenaikan tarif PPN, opsi lain yang dipertimbangkan pemerintah adalah optimalisasi penerimaan pajak dari sektor e-commerce serta pengenaan cukai pada kantong plastik.
Sehari setelahnya, pada Rabu 5 Mei 2021, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa upaya pemerintah dalam menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) masih dalam pembahasan pemerintah.
“Ini juga dikaitkan dengan pembahasan undang-undang (UU) yang diajukan ke DPR, yaitu RUU KUP (Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan),” kata dia.
Mengacu kepada UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan. UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN 10 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance alias Indef Tauhid Ahmad mengatakan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai harus dikaji ulang, bahkan dibatalkan, sampai kondisi perekonomian Indonesia benar-benar pulih.
"Sampai 2022 bahkan 2023 kita masih periode pemulihan ekonomi dan belum tahu kapan Covid-19 selesai. Saya kira itu harus menjadi hal kritis, jangan sampai di tengah situasi ini justru memancing di air keruh, sehingga masyarakat yang dirugikan," ujar Tauhid.
Tauhid mengatakan sampai saat ini tidak ada pihak yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Khususnya, dengan pergerakan kasus penyebaran Covid-19 di dunia yang sampai saat ini tidka bisa diperkirakan. "Kami merasa itu mengkhawatirkan."