TEMPO.CO, - Konflik di negara-negara kawasan Timur Tengah saat ini bukan sesuatu yang asing. Namun untuk di Yordania, yang sering dipandang relatif stabil, peristiwa selama akhir pekan kemarin menjadi kabar mengejutkan dalam beberapa dekade terakhir.
Pada Sabtu malam, pasukan Yordania melakukan penangkapan skala besar yang dilaporkan menargetkan setidaknya 15 orang karena dituduh mengganggu keamanan negara. Salah satu yang ditangkap adalah Pangeran Hamzah bin Hussein, saudara tiri Raja Abdullah II dan mantan putra mahkota Yordania.
Mengutip CNN, Selasa, 6 April 2021, pihak berwenang mengatakan mereka telah menggagalkan rencana kudeta Hamzah. Mereka menuding ada pihak asing yang bekerja sama dengan pria 41 tahun itu.
Hamzah membantah tudingan itu dan menyebut pemerintah berusaha membungkam kritik atas dugaan korupsi di kalangan pejabat.
"Kesejahteraan warga Yordania berada di urutan kedua oleh sistem pemerintahan yang telah memutuskan bahwa kepentingan pribadi, kepentingan finansial, bahwa korupsi lebih penting daripada kehidupan dan martabat serta masa depan sepuluh juta orang yang tinggal di sini," kata Hamzah.
Putra Mahkota Yordania Hamzah bin Hussein menyampaikan pidato kepada para ulama dan cendekiawan Muslim pada upacara pembukaan konferensi agama di Universitas Islam Al-Bayet di Amman, Yordania 21 Agustus 2004. [REUTERS / Ali Jarekji]
Pangeran Hamzah adalah putra mendiang Raja Hussein dari istri terakhirnya, Ratu Noor. Dia sejatinya sudah dipersiapkan untuk menjadi raja.
Namun jelang kematiannya pada 1999, Raja Hussein menjadikan Abdullah, putra sulungnya dari pernikahan kedua, sebagai penerusnya. Penunjukan ini sekaligus menyingkirkan saudara Hussein, Pangeran Hassan, sebagai calon raja.
Alhasil Hamzah, yang saat itu berusia 17 tahun, diangkat sebagai putra mahkota. Pada 2004, Abdullah menghapus gelar Hamzah. Lima tahun kemudian, dia menunjuk putranya, Pangeran al-Hussein, sebagai calon penggantinya.
Popularitas Pangeran Hamzah di mata masyarakat tidak buruk. Ia dikenal memiliki sifat yang sangat mirip dengan ayahnya. Ia juga kerap mengkritik kebijakan kerajaan yang dianggap tidak memihak pada rakyat. Suku-suku di Yordania pun percaya padanya.
Sadar akan dukungan itu, Hamzah rutin mengunjungi para petinggi suku dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini yang ditengarai memicu ketegangan di internal keluarga kerajaan.
Raja Abdullah dan Ratu Rania dari Yordania. Royal Hashemite Court vis Getty Images
Selain Hamzah, aparat Yordania menangkap pula orang-orang dekatnya termasuk manajer kantor, pengawal, dan manajer istana, serta sejumlah mantan pejabat negara. Sejauh ini, otoritas Yordania hanya mengungkapkan identitas dua tahanan: Sharif Hassan bin Zaid dan Bassem Awadallah.
Kedua tokoh itu disebut-sebut memiliki hubungan dekat dengan Arab Saudi. Awadallah, merupakan penasihat Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman. Sementara Hassan bin Zaid menjabat sebagai utusan khusus Raja Abdullah untuk Arab Saudi. Fakta itu memicu spekulasi jika Hamzah bekerja sama dengan asing untuk melakukan kudeta.
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi pun buru-buru mengklarifikasi tuduhan itu. "Kerajaan Arab Saudi menegaskan kembali dukungan terhadap segala keputusan dan tindakan yang diambil oleh Raja Abdullah II dan Pangeran Al Hussein bin Abdullah II untuk menjaga keamanan dan stabilitas Yordania," ujar Kerajaan Arab Saudi dalam keterangan persnya.
Secara terpisah, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menambahkan bahwa "Stabilitas dan kemakmuran Yordania adalah basis dari kestabilan dan kemakmuran regional (Timur Tengah)".
Raja Yordania King Abdullah menyambut kedatangan Putra Mahkota Saudi Arabia, Mohammed bin Salman di Amman, Yordania, 4 Agustus 2017. (Muhammad Hamed - Pool /Getty Images)
Seorang aggota parlemen Yordania, Omar Al-Ayasra, menilai tidak mungkin Arab Saudi terlibat dalam ketegangan internal keluarga kerajaan Yordania. Terlebih jika harus menjadikan Hamzah sebagai raja berikutnya.
"Saya tidak berpikir bahwa pihak asing mana pun dapat bertaruh padanya karena dia tidak memiliki kualitas yang diperlukan yang memungkinkan dia untuk menurunkan tahta raja dan menggantikannya," ucap dia.
Al-Ayasra menduga reaksi kerasa dari Raja Abdullah II karena Pangeran Hamzah bisa menarik simpati dari masyarakat Yordania. "Pangeran Hamzah telah menjadi sumber ketidaknyamanan bagi sistem politik, dengan kehadiran kekuatan sosial dan beberapa pengunjuk rasa yang bersimpati dengannya, yang mendorong pihak berwenang untuk mengambil tindakan tegas untuk mengatasi masalah ini sekali dan untuk semua," katanya dikutip dari Middle East Eye.
Belakangan, Hamzah menandatangani surat pernyataan kesetiaan pada Raja Abdullah II. Surat kesetiaan ini dibuat oleh Pengadilan Kerajaan Yordania. "Kepentingan tanah air harus tetap di atas setiap pertimbangan, dan kita semua harus mendukung raja dalam upayanya untuk melindungi Yordania dan kepentingan nasionalnya," bunyi surat tersebut dikutip dari Arab News, Selasa, 6 April 2021.
Pangeran Hamzah menandatangani surat tersebut di rumah Pangeran Hassan yang didelegasikan oleh Raja Abdullah II untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pangeran Hassan adalah paman dari Raja Abdullah II dan juga mantan putra mahkota.
"Mengingat keputusan Raja Abdullah II untuk menangani masalah Pangeran Hamzah dalam kerangka keluarga Hashemite, Yang Mulia mempercayakan jalan ini kepada pamannya, Pangeran Al Hassan," kata pengadilan.
Pengadilan Kerajaan mengatakan Pangeran Hassan telah berkomunikasi dengan Pangeran Hamzah, dan menegaskan bahwa dia berkomitmen dengan pendekatan keluarga Hashemite, dan jalan yang dipercayakan Raja Yordania kepada Pangeran Hassan.
Baca juga: Pangeran Hamzah Menolak Dibungkam dalam Tahanan Rumah
Sumber: CNN | MIDDLE EAST EYE | ARAB NEWS