TEMPO.CO, Jakarta - Dua aksi teror yang terjadi di Gereja Katedral Makassar dan di Markas Besar Polri Jakarta dalam sepekan terakhir, memunculkan pembahasan keterlibatan perempuan dalam ekstremisme. Diyakini kelompok teror semakin sering memanfaatkan perempuan sebagai aktor utama dalam aksi kekerasan mereka.
Pelaku perempuan dalam terorisme di Indonesia bukan pertama kali terjadi. Tercatat pada 2004, Densus 88 menangkap Munifatun, istri dari buronan teroris kelas kakap, Noordin M Top. Namun saat itu, peran Munifatun masih sebatas menyembunyikan suaminya dari kejaran aparat.
Keterlibatan langsung perempuan dalam aksi teror mulai terendus pada 2016. Dian Yulia Novi ditangkap setelah diketahui akan melakukan aksi bom bunuh diri di Istana Presiden Jakarta, bersama suaminya M Nur Solihin. Selain Dian, ada pula Ika Puspitasari dan Fatmawati Mizani yang juga terpapar radikalisme. Mereka sama-sama merupakan buruh migran.
Menguatnya pengaruh organisasi teror ISIS di dunia, juga berdampak pada keterlibatan perempuan. ISIS meyakini keterlibatan perempuan dalam aksi lapangan diperbolehkan. Di Indonesia, pengaruh ini ikut terasa. Apalagi, saat ini masih ada anggapan perempuan memiliki perasaan yang lebih sensitif, peka, emosi labil, dan memiliki sikap taat pada suami. Hal ini, cenderung membuat perempuan lebih mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan teroris laki-laki dalam melakukan aksinya.
Personel kepolisian memegang senjata laras panjang saat melakukan pengamanan ketat di pintu masuk Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis, 1 April 2021. Aksi terorisme di Mabes Polri pada kemarin sore dilakukan oleh seorang perempuan yang membawa senjata dan menembakkannya kepada sejumlah polisi. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Alimatul Qibtiyah dari Komnas Perempuan, mengatakan setidaknya ada empat alasan perempuan menjadi lebih banyak terlibat kekerasan ekstrim saat ini. Yang pertama, adalah menurunnya jumlah kombatan laki-laki.
"Dalam konteks ISIS, mereka membutuhkan tenaga-tenaga baru, yaitu perempuan," kata Alimatul dalam diskusi Public Virtue Research Institute, yang digelar secara daring, Ahad, 4 April 2021.
Selain itu, ia mengatakan peran perempuan juga digunakan sebagai strategi perang (war strategy) kelompok teror. Pasalnya mereka memanfaatkan stereotip gender, yang banyak mempersepsikan perempuan sebagai kelompok pasif dan tak melakukan kekerasan.
Hal ini juga, kata Alimatul, yang terjadi pada penyerangan yang terjadi di Mabes Polri pada Rabu, 31 Maret 2021 lalu. Pelaku ZA, dapat masuk ke dalam komplek Mabes Polri dengan membawa airgun sebagai senjata.
Dalam kasus-kasus ekstremisme yang terjadi pada pekerja migran, Alimatul mengatakan perempuan lebih mudah terlibat karena kondisi stres dan ketidaknyamanan di lingkungan mereka bekerja. Kelompok teror, kata dia, merangkul mereka dengan kebutuhan psikologis di tengah kondisi mereka yang rentan.
Alasan terakhir yang dipaparkan Alimatul, keterlibatan perempuan dalam aksi teror dilakukan untuk men-challenge maskulinitas.
'Jadi gini ada yang bilang 'masa kamu laki-laki ga bisa, ini perempuan juga bisa loh'. Jadi untuk men-challenge maskulinitas seseorang agar dia merekrut lebih banyak lagi," kata Alimatul.
Berbeda dengan Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), justru lebih memandang hal ini sebagai bukti kerentanan perempuan terjerumus dalam radikalisme. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir.
Anggota polisi berjada di ruas jalan menuju Gereja Katedral Makassar yang menjadi lokasi ledakan bom di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu, 28 Maret 2021. Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Pol Merdisyam mengatakan ledakan bom di gereja tersebut mengakibatkan satu korban tewas yang diduga pelaku bom bunuh diri serta melukai sembilan orang jemaat dan petugas gereja. ANTARA FOTO/Arnas Padda
Hal ini juga Ratna nilai didukung adanya doktrin yang terus mendorong dan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme. "Keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu," kata Ratna dalam keterangan tertulis, Sabtu, 3 April 2021.
Pengaruh media, khususnya media sosial, memang diakui juga berpengaruh besar pada paparan radikalisme seseorang. Sejumlah temuan radikalisme di Indonesia, menunjukan media sosial sebagai sumber utama paparan mereka.
Alimatul dari Komnas Perempuan mengatakan media sosial cenderung menekankan aspek perasaan dibanding aspek rasional. Hal ini ditambah dengan tren dakwah yang kurang mengajarkan berpikir kritis dan konstruksi dakwah simbolis standar pakaian perempuan yang kaffah.
Ia mengatakan tren dakwah ini kurang mengedepankan aspek bayani (teks) dan meninggalkan burhani (IQ) dan irfani (hati nurani). Hal ini mengakibatkan polarisasi identitas, hingga gerakan islamisasi ritual dan simbolis yang kurang mencerahkan.
"Ini sangat mempengaruhi apa yang dilihatnya. Kadang dalih persaudaraan dan muslim terzalimi, itu dinarasikan," kata Alimatul.
Dalam kasus serangan terhadap Mabes Polri, polisi menyebut pelaku ZA terpapar ajaran ekstrem dari internet. Hal ini mereka simpulkan dari unggahan ZA di Instagram pribadinya, yang menunjukan foto bendera ISIS dan tentang perjuangan dalam berjihad.
"Jadi sebenarnya yang perlu kita cermati bersama bahwa sekarang penularan daripada paham paham itu, itu banyak menggunakan internet ataupun media sosial yang sekarang banyak digunakan oleh masyarakat," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono.
Karena itu, Alimatul dari Komnas Perempuan mengatakan pemahaman Islam moderat harus terus didorong. Ia pun menegaskan terdapat hubungan yang kuat antara keadilan gender dan status perempuan di area konflik. Semakin kuat nilai kesetaraan, maka akan semakin kuat peran perempuan dalam menyelesaikan konflik.
Mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender sebagaimana juga disebutkan dalam UN’s Preventing Violent Extremism Plan of Action. "Dan bagaimana meningkatkan kesempatan perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya," kata Alimatul.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal Akhmad Nurwakhid, mengatakan BNPT telah menindaklanjuti persoalan ini, dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang sudah dibentuk di 32 provinsi. FKPT nantinya akan memberikan sosialisasi kepada generasi muda, termasuk perempuan, hingga anak-anak.
"Aksi radikalisme dan terorisme bukanlah bentuk monopoli satu agama, melainkan ada di setiap agama, kelompok, bahkan berpotensi ada di setiap individu manusia. Segala bentuk terorisme yang mengatasnamakan agama, sejatinya adalah manipulator agama dan tidak terkait dengan agama apapun," kata Akhmad.