TEMPO.CO, Jakarta - Cina akhirnya berteriak soal Myanmar. Pekan lalu, setelah puluhan warga lokal tewas di dekat keempat pabriknya yang dibakar, Cina memberikan pernyataan keras soal situasi di Myanmar yang kian tidak kondusif. Sayangnya, pesan Cina salah fokus.
Lewat pernyataan publiknya, Cina malah tidak mengomentari puluhan warga yang tewas dekat pabriknya di Hlaingthaya, Myanmar. Alih-alih mengomentari hal tersebut, Cina malah mempermasalahkan pabriknya yang dibakar. Cina meminta aparat Myanmar untuk segera menghentikan aksi kekerasan di Hlaingthaya demi keselamatan aset-aset miliknya.
"Cina mendesak Myanmar mengambil langkah lebih lanjut untuk menghentikan segala aksi kekerasan, menghukum pelaku pembakaran berdasarkan regulasi yang berlaku, dan menjamin keselamatan parbik serta karyawan Cina," ujar pernyataan pers Kedubes Cina, dikutip dari kantor berita Reuters, Senin, 15 Maret 2021.
Fokus Cina yang meleset tak ayal menimbulkan kemarahan di antara warga Myanmar. Beramai-ramai mereka mengkritik Cina yang lebih memperhatikan kebakaran pabriknya dibanding pembantaian yang terjadi di sana. Untuk mengekspresikan kekesalannya, warga Myanmar membombardir laman Facebook Pemerintah Cina dengan komentar negatif.
Seorang pria menggunakan katapel saat bentrokan dengan pasukan keamanan saat unjuk rasa anti-kudeta militer di Mandalay, Myanmar 14 Maret 2021. REUTERS/Stringer
Warga Myanmar sudah lama memandang Cina hanya mencari keuntungan dari situasi di negara mereka. Apalagi, posisi Myanmar begitu strategis untuk aktivitas dagang Cina, satu arah dengan jalur daratan Cina ke Samudra Hindia, yang membuatnya masuk dalam proyek jalur sutera Belt and Road Initiative.
Sentimen negatif di masyarakat itu tak terhindarkan. Ada beberapa alasan di baliknya. Salah satunya, karena Cina memang (kadung) dekat dengan Militer Myanmar yang menjadi dalang kudeta.
Cina memperkuat hubungannya dengan Myanmar ketika militer berkuasa dan sipil belum masuk ke eksekutif. Mereka melakukannya dengan memberikan berbagai bantuan ekonomi, bahkan saat negara-negara Barat memilih untuk menghukum Myanmar. Alhasil, ketika Myanmar kian jauh dari negara-negara Barat, mereka kian dekat dengan Cina.
Ketika Presiden Cina Xi Jinping berkunjung ke Myanmar pada Januari tahun lalu, kunjungan itupun termasuk menemui Panglima Militer Min Aung Hlaing. Min Aung Hlaing, sebagaimana diketahui, adalah otak kudeta Myanmar.
Dengan sejarah seperti itu, jelas sulit bagi warga Myanmar untuk tidak mencurigai ataupun memiliki sentimen buruk terhadap Cina. Hal itu diperburuk dengan sikap Cina terhadap upaya komunitas internasional memberi sanksi multilateral kepada Myanmar. Cina malah tidak mendukung hal tersebut, menyebutnya sebagai langkah intervensi.
"Segala tindakan yang ingin diambil oleh komunitas internasional jangan sampai memperburuk situasi di sana," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin, dikutip dari Channel News Asia.
Warga mengangkut seorang demonstran yang ditembak pasukan keamanan saat unjuk rasa anti-kudeta militer di Thingangyun, Yangon, Myanmar 14 Maret 2021. REUTERS/Stringer
Di Dewan Keamanan PBB, Cina pun memveto resolusi terkait krisis di Myanmar. Bersama sekutu utamanya, Rusia, Cina menentang segala resolusi yang pada intinya mengintervensi situasi di Myanmar. Tahun 2017, aksi serupa dilakukan Cina ketika DK PBB hendak mengintervensi krisis Rohingya di Rakhine State.
"Sikap Beijing konsisten, mereka melindungi Myanmar dari segala kritik, baik itu soal kekejaman militer di sana atau soal isu Rohingya," ujar editor Asia Tenggara dari The Diplomat, Sebastian Strangio, dikutip dari BBC.
Kedekatan dengan militer, sejarah menetang resolusi, plus sikap kalem selama kudeta berlangsung cukup bagi warga Myanmar untuk mencurigai Cina. Oleh karenanya, ketika Cina tiba-tiba berteriak soal situasi di Myanmar namun dengan penekanan ke kondisi aset-asetnya, hal itu seperti menjawab kecurigaan warga selama ini bahwa Cina dekat dengan Myanmar untuk kepentingan ekonomi dan politiknya.
Sebenarnya, jika ditilik lebih jauh, kecurigaan warga tidak sepenuhnya akurat. Benar bahwa Cina memanfaatkan Myanmar untuk kepentingan ekonomi dan politiknya, namun Cina tidak berusaha mencapainya dengan mendekati Militer Myanmar.
Sesungguhnya, Cina pun berusaha menjaga hubungan dengan pemerintahan sipil. Ketika demokrasi masuk ke Myanmar di tahun 2011, Cina berusaha menyeimbangkan kedekatannya dengan Militer maupun Sipil. Cina tahu situasi di Myanmar cenderung volatil sehingga mereka harus mengcover semua sisi untuk menjaga kepentingannya di sana.
Siapapun yang memimpin, Myanmar terlalu penting bagi Cina untuk dihukum ataupun diasingkan. Selain sudah menjadi bagian dari jalur sutera barunya, Myanmar juga berbagi perbatasan dengan Cina yang luasnya 2.204 kilometer. Jika Cina dan Myanmar sampah pecah kongsi, tak hanya proyek ekonomi terkendala, stabilitas regional pun terancam. Kedua negara bahkan sempat bersengketa di tahun 60an karena masalah perbatasan.
Para pengunjuk rasa membuat formasi tameng saat terlibat bentrok dengan petugas keamanan di tengah aksi menolak Kudeta Militer Myanmar di Nyaung-U, Myanmar, 7 Maret 2021. Video/Reuters.
Itulah kenapa, ketika komunitas internasional atau PBB mendorong sanksi multilateral, Cina sesungguhnya dalam posisi sulit. Mereka tidak bisa serta merta menghukum Myanmar karena posisi mereka terlalu dekat secara politik dan geografi. Di satu sisi mereka diuntungkan dengan pengaruh yang makin kuat di Myanmar, di sisi lain mereka tahu situasi di Myanmar harus ditenangkan.
"China ... bersedia untuk menghubungi dan berkomunikasi dengan semua pihak atas dasar menghormati kedaulatan Myanmar dan keinginan rakyat, sehingga dapat memainkan peran konstruktif dalam meredakan ketegangan," ujar Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, yang menggambarkan bagaimana Cina mencoba menjaga hubungan baik dengan segala pihak.
Militer Myanmar, apabila mengacu pada keterangan dari penasihatnya, Ari Ben-Menashe, sepertinya menyadari hal tersebut. Itulah kenapa ketika sentimen anti-Cina berkembang, ia mengatakan justru Militer Myanmar tengah menimbang kembali hubungannya dengan Cina.
Amerika jelas akan diuntungkan jika Myanmar merapat ke mereka. Hal itu akan mempermudah misi Amerika untuk menekan pengaruh Cina di Asia Tenggara. Di sisi Militer Myanmar, hal itu akan membuka kembali akses mereka terhadap aset-aset bernilai miliaran di negeri Paman Sam. Namun, sejauh ini, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan Myanmar memang benar-benar akan merapat ke Amerika.
Baca juga: Warga Myanmar Kritik Cina Lebih Khawatirkan Pabrik Dibanding Situasi Kudeta
ISTMAN MP | CNN | BBC