Di Bali, tradisi mengolah minuman beralkohol telah berlangsung turun-temurun. Jenis minuman arak Bali hingga brem Bali bahkan telah menembus pasar global dan keberadaannya mengundang minat wisatawan.
Bahlil memandang produk masyarakat lokal akan bernilai ekonomis bila usaha pembuatan minuman beralkohol menjadi industri. “Tapi kalau dibangun sedikit-sedikit, apalagi dilarang, tidak mempunyai nilai ekonomi,” katanya.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian mengatakan utilisasi industri minuman beralkohol di dalam negeri baru mencapai 51 persen dari total kapasitas 616 juta per tahun. Tertahannya utilitasi produk tertahan sifat distribusi barang yang diatur ketat oleh pemerintah.
“Kalau investasinya dibuka, selain memenuhi kebutuhan pariwisata, harapannya lebih untuk ekspor,” kata Edy.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS, ekspor untuk kelompok HS Code 2 digit 22 atau HS 22 yang meliputi minuman, alkohol, dan cuka per Desember 2020 secara kumulatif sebesar 227,6 juta. Nilai ekspor produk tersebut US$ 132,05 juta.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Importir dan Distributor Minuman Indonesia Ipung Nimpuno mengatakan pencabutan kebijakan pembukaan keran investasi minuman beralkohol dilematis bagi pelaku usaha. Perajin minuman daerah menghadapi ketidakpastian hukum setelah lampiran Perpres dibatalkan.