UU ITE kerap dipakai untuk menjerat pihak-pihak yang mengkritik pemerintah. Catatan KontraS, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE.
Menurut Hendri, serangan kepada pengkritik pemerintah saat ini bukan hanya dari segi hukum, tapi juga bersifat pribadi di media sosial. Meski demikian, ia menilai tidak bisa menarik garis lurus bahwa yang dilakukan buzzer maupun relawan pendukung pemerintah yang melaporkan pengkritik adalah tindakan yang garis lurus dengan pemerintah. "Itu sulitnya," kata pengamat politik tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri 1999-2000 Kwik Kian Gie pada 6 Februari lalu menyampaikan keluh kesahnya mengenai aktivitas para buzzer. "Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yg berbeda dng maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja d-buzzer habis2an, masalah pribadi diodal-adil," tulis Kwik Kian Gie.
Ia kemudian juga membandingkan kondisi saat ini dengan zaman Soeharto. "Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik2 tajam. tidak sekalipun ada masalah," kata dia.
Perihal tudingan pengkritik gampang dipanggil polisi, juru bicara Presiden Joko Widodo Fadjroel Rachman mengatakan bahwa masyarakat harus paham akan undang-undang sebelum menyampaikan pendapat di muka umum, salah satunya diatur di UU ITE. "Masyarakat perlu mempelajari secara saksama UUD 1945 Pasal 28J. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," kata Fadjroel dalam keterangannya, Sabtu, 13 Februari 2021.
Memasuki media digital, kata Fadjroel, harus memahami UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). "Baca dan simak. Perhatikan baik-baik ketentuan pidana pasal 45a ayat (1) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen; ayat (2) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas SARA," lanjut dia.
Kalau ingin menyampaikan kritik dengan unjuk rasa, Fadjroel menambahkan, baca dan simak UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. "Jadi apabila memberi kritik sesuai UUD 1945 dan peraturan perundangan, pasti tidak ada masalah, karena kewajiban pemerintah/negara adalah melindungi, memenuhi dan menghormati hak-hak konstitusional setiap WNI. Presiden Jokowi tegak lurus dengan Konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundangan yang berlaku," tuturnya.