TEMPO.CO, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. menghadapi negosiasi yang alot dalam mengakhiri kontrak atau early termination sewa pesawat Bombardier CRJ 1000. Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN Erick Thohir bercerita para petinggi Garuda Indonesia telah berembuk panjang dengan pemimpin perusahaan leasing pesawat, Nordic Aviation Capital (NAC), namun belum menemui kesepakatan.
“Proses negosiasi sudah terjadi berulang antara Garuda dan NAC. Tentu ini niat baik kami. Sayangnya early termination belum dapat respons dari mereka (NAC),” ujar Erick dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada Rabu, 10 Februari 2021.
Keinginan Garuda menghentikan operasi Bombardier berhubungan dengan langkah efisiensi perusahaan selama pandemi Covid-19. Manajemen melaporkan perusahaan menghadapi kerugian hingga US$ 30 juta atau sekitar Rp 419,5 miliar (asumsi kurs Rp 13.982 per dolar AS) sejak menerbangkan pesawat pabrikan Montreal, Kanada itu delapan tahun lalu.
Secara karakteristik, pesawat berkapasitas 96 kursi ini tidak cocok dengan tipikal masyarakat Indonesia. Armada yang menerbangi rute-rute Indonesia timur tersebut memiliki bagasi yang terbatas. Sedangkan penumpang domestik umumnya membawa barang dalam jumlah besar.
Dari sisi perawatan dan biaya parkir, pengoperasian Bombardier membutuhkan ongkos hingga US$ 50 juta atau sekitar Rp 699,13 miliar. Sedangkan total biaya sewa pesawat tak jauh berbeda dengan armada berbadan lebar lainnya, yakni US$ 27 juta atau sekitar Rp 377,53 miliar per tahun.
Selain alasan komersial, Kementerian BUMN mempertimbangkan kasus hukum yang membelit Bombardier. Perusahaan ini diduga melakukan suap kepada pejabat Garuda Indonesia pada pengadaan pesawat 2011 lalu. Kasus ini sedang diusut lembaga pemberantasan korupsi Inggris, Serious Fraud Office (SFO), sejak November 2020.