Sementara itu, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Belinda Arunarwati Margono, membenarkan penurunan luas tutupan lahan ini. Salah satunya di DAS Barito di Kalimantan Selatan.
Sejak 1990 hingga 2019, penurunan luas hutan alam DAS Barito ini mencapai sebesar 62,8 persen, "Dengan penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000 yaitu sebesar 55,5 persen," kata Belinda.
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Melky Nahar, menduga banjir Kalimantan Selatan terjadi akibat alih fungsi hutan menjadi tambang dan sawit. "Akibat tata guna lahan yang amburadul," katanya.
Lewat akun twitter resmi @jatamnas, Jatam menyampaikan luas Kalimantan Selatan saat mencapai 3,7 juta hektare. Mayoritas atau 70 persen di antaranya atau 2,6 juta hektare lahan itu telah beralih menjadi area industri ekstraktif.
Rinciannya yaitu luas izin tambang 1,2 juta hektare dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam 234 ribu hektare. Kemudian, IUPHHK-Hutan Tanaman 567 ribu hektare dan Hak Guna Usaha (HGU) 620 ribu hektare.
Jatam mencatat ada beberapa perusahaan tambang yang berdiri di daerah lokasi banjir. Sejumlah nama besar perusahaan itu adalah PT Adaro Indonesia milik Adaro Energy Tbk, hingga PT Arutmin Indonesia, milik PT Bumi Resources Tbk.
Salah satunya, Jatam menyinggung Daerah Aliran Sungai (DAS) terbesar, serta paling banyak memiliki titik banjir adalah DAS Balangan-Tabalong. Jatam menyebut 9 titik banjir Sungai Tabalong berada di sekitar konsesi PT Adaro Indonesia.
PT Adaro Indonesia adalah perusahaan pertambangan terbesar milik PT Adaro Energy Tbk. Ini merupakan grup perusahaan tambang yang dipimpin oleh Garibaldi Thohir alias Boy Thohir yang merupakan kakak kandung Menteri BUMN Erick Thohir.