Sekretaris Jenderal Asosiasi Kedelai Indonesia Hidayatullah Suralaga membantah adanya pengaturan harga atau praktik kartel di kalangan importir kedelai. "Ini kan pasar bebas, semua bisa mengecek. Di kalangan importir juga kan bersaing. Enggak mungkin harga jor-joran, nanti enggak laku barang," ujar dia kepada Tempo, Rabu, 6 Januari 2020.
Hidayat mengatakan naiknya harga kedelai di dalam negeri dipicu kenaikan harga kedelai dunia, dari US$ 8 dolar per bushel pada Mei 2020 menjadi lebih dari US$ 13 per bushel di akhir 2020. Harga kedelai dunia mulai merangkak sejak Agustus 2020 dan berlanjut hingga saat ini. Walhasil, harga kedelai dalam negeri pun terkerek.
Ia menduga kenaikan harga itu disebabkan oleh kekeringan di Amerika Latin, khususnya Brasil. Akibatnya, Cina mengalihkan permintaannya ke Amerika Serikat. Sehingga stok di negeri Abang Sam pun menipis dan harga melambung. Akibatnya, di dalam negeri, harga melambung dari kisaran Rp 6.500 ke kisaran Rp 8.600 per kilogram di importir.
Saat ini, kata dia, stok di gudang importir ada sekitar 200 ribu ton. Pasokan itu juga akan bertambah dengan masuknya 250 ribu ton kedelai pada Januari 2021. Adapun kebutuhan kedelai untuk para anggota Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), menurut data Kementerian Perdagangan, diperkirakan sebesar 150 ribu sampai 160 ribu ton per bulan.
Kendati demikian, ia mengatakan stok di daerah sangat dipengaruhi oleh faktor logistik. Ia mengatakan pembelian yang besar dari Cina juga membuat suplai ke Indonesia agak terlambat.
"Karena banyak pembelian secara kontainer dan dalam waktu singkat sehingga di pelabuhan muat dan transit terjadi stagnasi dan terjadi keterlambatan suplai ke Indonesia. Misalnya harusnya 40 hari jadi 60 hari. Itu yang mengganggu stok," ujarnya.