TEMPO.CO, Jakarta - Hilangnya tapian bisnis e-commerce Alibaba, Jack Ma, menjadi sorotan beberapa hari terakhir. Sebulan lebih ia tidak terlihat batang hidungnya. Berbagai pihak mulai berspekulasi soal di mana ia berada kenapa ia sampai menghilang. Konsensus sejauh ini, mayoritas berkeyakinan Jack Ma menghilang akibat kritiknya di Bund Summit, sebuah konferensi keuangan yang digelar di Shanghai pada Oktober lalu.
Pada momen itu, ia menyebut sistem keuangan Cina dan operasional bank-bank lokal sudah usang, minim inovasi, serta bermentalitas seperti toko gadai. Entah Jack Ma sadari atau tidak, Ia mengkritik Pemerintah Cina di depan pejabat-pejabatnya sendiri. Alhasil, kritikan dia sampai ke telinga Presiden Cina Xi Jinping yang dikabarkan marah besar kepadanya. Kritikan itu menjadi yang terakhir darinya sebelum menghilang.
Bisnis-binis Jack Ma kena imbasnya atas kritikan tersebut. Sebagai contoh, di bulan Oktober 2020, Pemerintah Cina menginvestigasi Alibaba atas dugaan praktik monopoli dan pelanggaran aturan persaingan usaha. Di bulan Desember, Bank Sentral Cina ganti menyasar kelompok usaha keuangan Jack Ma, Ant Group, yang dianggap bermasalah dalam hal layanan kredit, asuransi, dan manajemen keungan. Cina meminta operasional Ant Group direduksi.
"Ant Group perlu kembali ke fungsi awalnya sebagai penyedia jasa pembayaran," ujar Deputi Gubernur Bank Sentral Cina, Pan Gongsheng. Adanya penindakan dari Bank Sentral Cina membuat Ant Group batal melantai di Pasar Saham dan menghalangi rencana ekspansinya ke bisnis lending (pinjaman).
Pendiri Alibaba, Jack Ma, menghadiri pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, 18 Januari 2017. [REUTERS / Ruben Sprich]
Jack Ma bukanlah kasus pertama. Cina sudah beberapa kali menyasar pebisnis-pebisnisnya yang dianggap "bermasalah". Bermasalah di sini kebanyakan berkaitan dengan kritik mereka terhadap Pemerintah Cina. Sebelum Jack Ma, taipan bisnis properti Ren Zhiqiang lebih dulu hilang.
Zhiqiang hilang tak lama setelah membuat tulisan yang pada intinya menyamakan Presiden Cina Xi Jinping sebagai "badut yang haus kekuasaan". Di tulisan itu, ia juga menyerang Partai Komunis Cina yang ia anggap membungkam kebebasan berpendapat warga-warganya.
"Saya tidak melihat seorang kaisar yang berdiri tegak untuk memperlihatkan jubah barunya, melainkan seorang badut telanjang yang berusaha menyakinkan orang-orang bahwa ialah sang kaisar," ujar Ren Zhiqiang sebagaimana dikutip dari New York Times tahun lalu.
Selain kasus Jack Ma dan Ren Zhiqiang, ada juga kasus Xiao Jianhua. Pemilik kelompok usaha yang bergerak di bidang keuangan tersebut, Tomorrow Group, jika sempat dinyatakan hilang pada 2017 lalu. Perusahaannya bahkan sempat mengklaim ia diculik. Sebelum hilang, ia pun dikenal sebagai figur yang memperjuangkan hak-hak warga Cina dan Jianhua sudah melakukannya sejak tahun 80an.
Tidak dipungkiri bahwa taipan-taipan seperti Jack Ma adalah aset penting untuk Cina. Mereka membantu Cina untuk melebarkan perekonomian dan pengaruhnya ke berbagai aspek sosial, termasuk di luar Cina. Namun, di satu sisi, Pemerintah Cina juga dalam posisi harus menjaga wibawa Partai Komunisnya agar jangan sampai ada yang melangkahinya demi stabilitas ekonomi dan politik.
Figur seperti Jack Ma, dalam berbagai sisi, bisa menjadi ancaman tersebut. Dengan jangkauan bisnisnya mencapai segala aspek sosial, tidak berlebihan mengatakan bahwa ia figur yang sama atau lebih berpengaruh dibanding Pemerintah Cina sendiri. Apalagi, Jack Ma gemar mencari perhatian dan menyampaikan pandangannya soal sistem keuangan Cina yang ia rasa usang dan tidak mendukung inovasi. Alhasil, upaya mengendalikan pebisnis seperti ia tak terhindarkan.
"Pemerintah Cina berupaya menegaskan bahwa Jack Ma tidak lebih besar dibanding Partai Komunis Cina. Namun, di satu sisi, mereka juga perlu menunjukkan bahwa Cina adalah tempat yang cocok untuk berbisnis dan para pebisnisnya bisa sukses," ujar Rana Mitter, pakar politik Cina dari Universitas Oxford.
Situasi dilematis itu sudah berlangsung bertahun-tahun di Cina dan ke mana partai akan condong selalu bergantung pada siapa pemimpinnya. Mao Zedong di tahun 1950, misalnya, tidak menyukai para pengusaha kapitalis dan bersumpah akan "mencabut" mereka hingga ke akar-akarnya.
Kontras dengan Mao, penerusnya yaitu Deng Xiaoping, lebih ramah pengusaha. Dia menggelar banyak reformasi dan melonggarkan kebijakan kredit untuk meningkatkan daya saing serta memicu pertumbuhan ekonomi. Penerus Deng Xiaoping, Jiang Zemin, tidak jauh berbeda dengannya dan bahkan mendorong Cina bergabung ke WTO di tahun 1999an untuk menggenjot perekonomiannya. Malah, di masa Jiang Zemin, pengusaha swasta diperbolehkan bergabung ke Partai Komunis Cina.
Pebisnis seperti Jack Ma lahir di masa pemerintahan Jiang Zemin. Fondasi Alibaba bahkan dibangun di masa tersebut dan membonceng gelombang ekspansi ekonomi Cina. Hasilnya dirasakan bertahun-tahun kemudian di mana Jack Ma muncul sebagai salah figur terkaya dan berpengaruh di Cina.
"Alibaba menaikki gelombang tersebut dan mendapat banyak keuntungan dari liberalisasi yang dilakukan Jian Zemin," ujar Valeri Tan, analis dari Think Tank Jerman, Merics.
Ketika Xi Jinping naik ke tampuk kekuasaan, di situlah kecondongan mulai berpindah ke arah sebaliknya. Xi Jinping ingin pengaruh partai kembali kuat. Alhasil, pengawasan mulai ditingkatkan lagi terhadap bisnis-bisnis swasta yang selama ini relatif tidak terawasi. Regulator mulai menyasar para pebisnis dengan hukum persaingan usaha (antitrust) dan anti korupsi. Xi Jinping lebih memilih bisnis dikuasai atau dekat pemerintah dibanding swasta yang menurutnya lebih beresiko.
Penangkapan Wu Xiaohui, pengusaha dari kelompok usaha Anbang Group, adalah salah satu hasil dari preferensi Xi Jinping. Xiaohui, yang terkenal karena belanja besar-besarannya termasuk membeli jaringan Hotel Waldorf Astoria, diperkarakan dan dipidana 18 tahun penjara karena pengumpulan dana secara ilegal.
Ketika Xi Jinping berkunjung ke Provinsi Jiangsu pada November lalu, dia dengan jelas menunjukkan preferensinya. Ia ingin pebisnis yang lebih mementingkan negara di atas segalanya. Salah satu figur pilihannya adalah Zhang Jian, industrialis yang membangun kampung halamannya, Nantong, dan membuka ratusan sekolah. Figur pebisnis seperti Jack Ma dan Wu Xiaohui jelas kelewat flamboyan dibandingkan Zhang Jian.
Preferensi pemerintah Cina saat ini tentu menjadi momok untuk figur pebisnis seperti Jack Ma. Tak mengherankan Jack Ma menyebut stabilitas dan keamanan perekonomian Cina terlalu steril hingga inovasi menjadi hal yang sulit terjadi. Jack Ma memakai pemahaman high risk high return dan ketika hal itu ia suarakan, dirinya dianggap kelewatan oleh administrasi Xi Jinping. Sekarang, pebisnis harus bisa menyeimbangkan antara kedekatan dengan pemerintah dan kepentingan usaha mereka.
"Sulit membayangkan bakal ada pebisnis vokal seperti Jack Ma lagi di era Xi Jinping," ujar William Plummer, mantan Wakil Presiden Hubungan Eksternal Huawei.
ISTMAN MP | QUARTZ | NIKKEI | NY TIMES
https://qz.com/1946723/theres-no-place-for-a-jack-ma-in-todays-china/
https://www.nytimes.com/2020/12/24/technology/china-jack-ma-alibaba.html