TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pengusaha mengaku tak menangguk untung dari perhelatan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020. Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, kontestasi politik kali ini dinilai tak menggairahkan karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19.
“Belanja pasangan calon kali ini lebih irit,” ujar Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Suryani Motik saat dihubungi Tempo, Kamis, 10 Desember 2020.
Pada 2018, Pilkada serentak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5,17 persen. Empat tahun sebelumnya, Pilkada akbar 2014 juga memberikan efek pertumbuhan sebesar 0,1-0,2 persen dari total pertumbuhan ekonomi.
Pilkada membuat sirkulasi ekonomi bergerak pesat karena terdorong meningkatnya konsumsi dari belanja politik. Suryani menerangkan, umumnya saat Pilkada, pengusaha kaus, spanduk, hingga papan reklame akan cuan. Sebab, belanja paslon banyak dialokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat atributif dan iklan.
Namun keuntungan tersebut tak dirasakan pada tahun ini. Pandemi membuat pertemuan tatap muka yang melibatkan banyak orang dilarang dan mobilisasi masyarakat dibatasi. Dalam situasi wabah, paslon mengubah metode kampanye dari tatap muka menjadi virtual.
Dampaknya, dana-dana promosi tak banyak mengalir ke pengusaha iklan konvensional. Sepinya untung bisnis pemasangan iklan diakui oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Media Luar Griya Indonesia (AMLI) Nuke Maya Sapira. Nuke menjelaskan, penayangan iklan di kota-kota sekeliling Jakarta yang menggelar kontestasi Pilkada, seperti Tangerang Selatan, tak terlalu menggembirakan.
“Dengan adanya peraturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar), pengiklan merasa tidak manfaatnya untuk menayangkan iklan di MLG (media luar-griya),” tuturnya.