TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan pesimistis mekanisme legislative review Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dapat dilakukan.
Peneliti bidang parlemen dan perundang-undangan Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura mengatakan proses legislative review seperti merevisi undang-undang biasa yang kerap kali prosesnya tidak sederhana.
Menurut Charles, pemerintah justru bisa mengulur waktu lewat mekanisme legislative review ini. Ia juga menilai opsi legislative review malah memungkinkan pengalihan tanggung jawab pemerintah.
"Ini menggeser hal yang sebenarnya bisa dilakukan presiden melalui perpu ke proses legislasi biasa," kata Charles ketika dihubungi, Senin, 9 November 2020.
Usulan legislative review sebelumnya dilontarkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia. Selain menggugat pasal-pasal ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi, KSPI mendorong DPR melakukan legislative review untuk membatalkan Undang-undang Cipta Kerja.
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Golkar, John Kennedy Azis mengatakan legislative review bisa saja dilakukan. Namun ia membatasi pada persoalan kesalahan ketik yang ditemukan setelah UU Cipta Kerja diundangkan, bukan pada substansi.
"Sejauh itu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan tidak melanggar atau mengganggu implementasinya, bisa saja itu dilakukan," kata John ketika dihubungi, Senin, 9 November 2020.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno mengatakan revisi terbatas dapat dilakukan. Ia mempersilakan masukan revisi terbatas disampaikan kepada fraksi-fraksi, komisi atau alat kelengkapan dewan, hingga anggota DPR.
"Maksudnya usulan dan dorongan agar DPR melakukan legislative review dalam bentuk revisi terbatas? Bila demikian boleh-boleh saja," kata Hendrawan, Ahad, 8 November 2020.
Meski begitu, Charles Simabura mempertanyakan sejauh mana DPR akan memprioritaskan legislative review UU Cipta Kerja. Ia khawatir DPR berlama-lama dalam memprosesnya sebab Dewan pun memiliki agenda legislasi lain.
Menurut Charles, pemerintah semestinya menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Apalagi, pemerintah sudah mengakui adanya kesalahan pengetikan setelah aturan diundangkan.
"UU yang sudah diundangkan dapat diubah dengan tiga cara: UU perubahan atau legislative review, perpu tentang perubahan UU atau executive review, dan uji ke MK atau judicial review. Di luar ini inkonstitusional," kata Charles.
Keraguan juga disampaikan anggota Baleg DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto. Berkaca dari sikap akhir pemerintah terhadap UU Cipta Kerja serta peta politik koalisi pendukung pemerintah di DPR, Mulyanto menilai legislative review sulit dilkaukan.
"Secara kalkulasi politik, usulan legislative review ini akan sulit untuk menang," ujar Mulyanto dalam ketika dihubungi, Ahad, 8 November 2020.
Anggota Baleg DPR dari Demokrat, Benny Kabur Harman mengatakan prinsip legislative review adalah koreksi dari pembuat undang-undang atas kesalahan yang telah dilakukan. Benny mengatakan, proses ini bergantung pada kemauan Presiden Joko Widodo dan partai-partai pendukungnya.
"Pusat kekuasaan legislatif ada di genggaman tangan presiden. Maka, tanya saja presiden," kata Benny.
Adapun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menegaskan pemerintah tak akan mengajukan legislative review UU Cipta Kerja ke DPR. Mahfud hanya berujar pemerintah mempersilakan masyarakat yang berkeinginan melakukannya.
"Intinya pemerintah tak punya agenda legislative review, tapi tak melarang masyarakat mengusulkan legislative review," kata Mahfud dikutip dari Koran Tempo edisi Senin, 9 November 2020.