Namun seumpama Trump kembali berkuasa, Faisal menduga posisi dunia akan berada dalam status quo atau tak berbeda dengan situasi sebelumnya. Ia memprediksi gejolak perang dagang antara AS dan negara-negara maju seperti Cina terus terjadi dan mempengaruhi geopolitik antar-negara. Dengan demikian, arus perdagangan global masih bakal tertekan.
Di samping itu, tarif bea masuk ke AS kemungkinan akan lebih rendah dibandingkan dengan masa pemerintahan saat Trump memimpin—meski Trump sebelumnya telah memperpanjang stimulus generalized system of preference (GSP) atau fasilitas pembebasan bea masuk untuk beberapa negara. “Biden akan menurunkan tarif bea masuk sejalan dengan kebijakannya memperkuat kerja sama perdagangan dengan negara lain,” katanya.
Karena itu, hambatan arus perdagangan global akan mereda. Namun, Faisal mengingatkan, masalah utama dalam perdagangan AS bukan menyangkut tarif, melainkan non-tarif. Menurut dia, banyak kebijakan yang membuat produk negara berkembang sulit masuk ke Negeri Abang Sam dan kondisi ini telah berlangsung lama, bahkan sebelum Trump menduduki Gedung Putih.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS, nilai ekspor Indonesia ke AS pada Januari hingga Agustus 2020 tercatat sebesar US$ 11,8 miliar. Angka ini naik 1,2 persen ketimbang periode yang sama tahun lalu. Ekspor utama Indonesia ke AS adalah produk elektronik, mesin, makanan laut, produk kayu, furnitur, perhiasan, minyak nabati, hingga produk kimia lain.
Sedangkan nilai impor terhadap AS pada periode yang sama sebesar US$ 5,6 miliar atau turun 10,2 persen. Dengan demikian neraca perdagangan Indonesia-AS pun surplus US$ 6,2 miliar atau naik 14,3 persen ketimbang tahun lalu.
Ekonom sekaligus dosen Perbanas Institute, Piter Abdullah, memberikan gambaran dari sisi lain. Piter mengungkapkan, bila kemenangan diraih oleh Biden, pasar keuangan dunia termasuk Indonesia akan lebih moncer. “Ada keyakinan bahwa ketidakpastian dan perang dagang akan berakhir,” tutur Piter.