Alasan yang sama disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris DPRD DKI Jakarta Hadameon Aritonang. Menurut dia, pemindahan lokasi rapat ke hotel yang dikelola PT Jakarta Tourisindo itu untuk menghindari penularan Covid-19.
Alasannya hotel tersebut mempunyai ventilasi yang cukup baik dan terbuka sehingga bisa meminimalisir penularan Covid-19. "Kalau di sini (Puncak) kan tempatnya terbuka. Kalau di DPRD gak ada ventilasinya. Gedungnya tertutup," ujarnya.
Rapat di Kota Hujan, Hadameon menambahkan, diusulkan langsung oleh legislator dalam rapat badan musyawarah pekan lalu. "Semuanya kesepakatan dewan," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, khawatir terjadi penyelewengan dalam rapat pembahasan anggaran yang dilakukan DPRD DKI di luar Jakarta. "Kalau pembahasannya masih sembunyi-sembunyi, saya yakin kualitas dan akuntabilitas APBD DKI menjadi rendah," kata Misbah.
Misbah melihat indikasi APBD DKI yang dibahas di luar kota secara tertutup bagi publik berpotensi tidak baik bagi publik. Pertama pembahasan anggaran secara tertutup itu bisa terindikasi agar terlihat serapan anggaran tahun ini cukup tinggi, karena ada konsekuensi biaya perjalanan dinas, penginapan, dan akomodasi telah digunakan.
Selain itu, pembahasan yang di luar kebiasaan tersebut dikhawatirkan terjadi kesepakatan-kesepakatan titipan. Rapat di luar gedung DPRD DKI juga bisa menciderai prinsip transparansi dan akuntabilitas penyusunan anggaran.
"Yang dikhawatirkan ada kesepakatan gelap atau anggaran-anggaran siluman yang ingin disisipkan di komponen kegiatan atau program," ujarnya.