TEMPO.CO, Jakarta - Gelombang penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja tak kunjung mereda. Ini terjadi meskipun pemerintah menyatakan masih membuka ruang dialog bagi kelompok masyarakat dan buruh yang kontra dalam penyusunan aturan turunan UU Cipta Kerja.
"Masih terbuka (untuk diakomodasi). Setidaknya akan ada 35 Peraturan Pemerintah dan lima Peraturan Presiden yang disiapkan sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja," ujar Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, Sabtu 17 Oktober 2020. Dia mengatakan pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan masih memberikan kesempatan dan akses bagi pekerja dan buruh untuk ikut memikirkan bagaimana mereka menanggapi isi UU Cipta Kerja.
Namun, niat pemerintah itu tidak mendapat sambutan positif. Kelompok buruh merasa percuma ikut terlibat lantaran pengalaman sebelumnya dimana aspirasi mereka tidak pernah diakomodasi saat penyusunan UU Cipta Kerja.
"Dari kemarin-kemarin kami sudah dirangkul dan kami juga merangkul dengan harapan UU-nya lebih baik, nyatanya, kan, tidak," kata Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, lewat pesan singkat pada Tempo, Ahad, 18 Oktober 2020.
Buruh dari berbagai elemen organisasi melakukan aksi mogok kerja dengan turun ke jalan di depan Kantor Walikota Bekasi, Jawa Barat, Kamis, 8 Oktober 2020. Aksi yang diikuti ratusan buruh tersebut rencananya akan melakukan aksi di depan Gedung DPR RI namun dihadang oleh pihak Kepolisian dan TNI. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Elly menuturkan pemerintah mengundang KSBSI untuk terlibat dalam pembuatan rancangan peraturan pemerintah. Namun, ia memastikan tidak akan mengirimkan perwakilannya.
Ketimbang duduk bareng membahas rancangan peraturan pemerintah, Elly menyatakan fokus pada gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Kami, kan, sedang menggugat masa masih membahas isi yang digugat?" ucap dia.
Hal senada diungkapkan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal. Ia mengatakan pihaknya tidak akan terlibat dalam pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja dan memilih mempersiapkan aksi penolakan lanjutan.
"Buruh menolak omnibus law UU Cipta Kerja. Dengan demikian, tidak mungkin buruh menerima peraturan turunannya. Apalagi, terlibat membahasnya," kata Said Iqbal dalam pernyataan di Jakarta, Kamis.
Menurut Said, ada empat langkah yang sudah dan akan dilakukan para buruh, yaitu mempersiapkan aksi lanjutan secara nasional, meminta legislative review dan executive review, kampanye tentang isi dan alasan penolakan UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan, dan mempersiapkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk uji formil dan uji materiil.
Namun, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, meragukan independensi MK dalam memutus permohonan uji materi UU Cipta Kerja. Ia menilai pemerintah dan DPR sudah barter dengan MK saat meloloskan revisi UU MK yang salah satu poinnya adalah memperpanjang masa jabatan hakim MK hingga usia 70 tahun.
Pengunjuk rasa mengibarkan bendera merah putih saat unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis 8 Oktober 2020. Aksi yang dikuti ribuan orang dari berbagai elemen mahasiswa dan buruh tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak. ANTARA FOTO/Zabur Karuru
"Jadi, peluangnya (gugatan dikabulkan) enggak ada. Sebab, MK melanggar etik dan persidangan MK sarat konflik kepentingan. Melanggar etik karena menerima 'hadiah' dari pihak yang berperkara (pembuat UU) berupa perpanjangan usia hakim konstitusi," ujar Feri saat dihubungi Tempo pada Selasa, 13 Oktober 2020.
Menanggapi tuduhan lembaganya tidak independen, Juru Bicara MK, Fajar Laksono mempersilakan publik menilai karena segala proses persidangan di MK terbuka. "Seluruh pendapat dan argumentasi konstitusional diberi ruang untuk dikemukakan di persidangan sesuai asas audi et alteram partem," ujar Fajar.
Putusan di MK, ujar Fajar, bukan perkara kalah dan menang, tapi perkara mencari keadilan. "Sesuai kewenangan dan independensi yang dimiliki, MK dapat menegaskan memutus sesuai pertimbangannya sendiri berdasar konstitusi, sekalipun mungkin tak seperti harapan pemohon atau harapan pembentuk UU," tuturnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan salah satu gejala keburukan UU Cipta Kerja adalah banyak cek kosong atau ketidakpastian hukum. Ia mengkritik argumen pemerintah yang kerap mengatakan kekurangan dalam UU ini bakal diatur di aturan turunan. "Mana bisa begitu. Aturan turunan tidak bisa memuat norma baru yang nggak diatur di UU atau menyimpang dari UU," tuturnya.