Dana Idle
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bob Azam punya pandangan lain. Menurut dia, masalah yang lebih penting bukan pada persoalan besaran pesangon, tapi transformasi dari pengelolaan dana itu di perusahaan. "Jadi isunya transformasi, not just talking number," kata Bob saat dihubungi.
Bob bercerita bahwa sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau PSAK 24, uang pesangon dimasukkan dalam dana yang harus dicadangkan dalam laporan keuangan. Uang pesangon ini kemudian menjadi dana idle alias "dana yang harus dicadangkan". Sederhananya, dana ini tak terpakai.
Bob mengatakan jumlah dana idle yang tersedia di ribuan perusahaan di Indonesia sangatlah banyak. Tapi dalam kondisi bisnis sedang sulit di tengah Covid-19, sebagian perusahaan harus menggunakan dana idle ini untuk bertahan.
Ketika pesangon harus dibayarkan, dana cadangan malah tidak ada. Sehingga, inilah perlunya transformasi pengelolaan dana idle ini dalam Omnibus Law. Salah satunya dengan menempatkan dana ini di unit investasi yang berkembang.
Transformasi ini pun terjadi Omnibus Law. Besaran pesangon kini sudah menjadi 25 kali upah, di mana 6 kali upah ditanggung pemerintah lewat JKP di BP Jamsostek dan 19 kali upah dibayar perusahaan.
Tapi, Bob menyebut 19 kali upah ini belum jelas pengaturannya, apakah masih jadi dana idle seperti yang lama atau bakal ditempatkan di unit investasi tertentu. Ia mengatakan ketentuan ini harus dibicarakan bersama di level Peraturan Pemerintah. "Jadi UU ini belum sempurna," kata Bob.
Meski begitu, sejauh ini, Bob belum menerima undangan lagi dari pemerintah untuk melakukan pembahasan bersama. Sebelumnya, pembahasan soal JKP ini sudah pernah dilakukan di zaman Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Saat itu, kata dia, serikat pekerja pun juga diundang.