Usulan ini pun diterima dan akhirnya terjadilah pemangkasan besaran pesangon PHK ini. Beberapa jam kemudian, sebelum lewat tengah malam, Baleg DPR dan pemerintah memutuskan pembahasan ini dinyatakan rampung di tingkat I sehingga bisa dilanjutkan ke tingkat II di sidang paripurna.
Temuan Pemerintah soal Pesangon
Setelah Omnibus Law ketuk palu pada 5 Oktober 2020, tiga hari kemudian Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan soal pemangkasan besaran pesangon ini. Ia mengatakan pemangkasan menjadi 25 kali upah ini terjadi karena pemerintah yang ingin memastikan pekerja atau buruh benar-benar mendapat pesangon yang menjadi haknya.
“Jadi kalau angkanya (pesangon) tinggi, tapi tidak dapat diterima sama juga dengan bohong,” katanya dalam sosialisasi tentang UU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan yang disiarkan melalui YouTube.
Terlebih, kata Ida, selama ini data menunjukkan sedikit sekali pekerja yang menerima hak pesangon sesuai yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Data pembayaran pesangon bagi PHK yang tak sesuai ini sebenarnya juga jadi pertimbangan pemerintah, mengusulkan perubahan.
Data yang jadi rujukan yaitu rekap pembayaran pesangon dari 536 Persetujuan Bersama (PB) untuk PHK yang dihimpun Kementerian Ketenagakerjaan pada 2019. Dari total 536 ini, hanya 27 persen yang membayar pesangon UU Ketanagkerjaan. Sisanya yaitu 73 persen tidak sesuai ketentuan.
Walau demikian, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal tetap tidak setuju dengan argumen ini. "Pengurangan terhadap nilai pesangon jelas-jelas merugikan kaum buruh." kata dia.
Sebab, tidak ada penjelasan dalam Omnibus Law ini soal 6 kali upah yang dibayarkan pemerintah, apakah 6 kali atau 6 bulan. Sehingga, kata dia, bisa saja pesangon diberikan sekian ratus ribu saja, tapi sebanyak 6 kali pembayaran.