Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut lembaganya kesulitan memberikan pendampingan hukum. YLBHI juga masih mendesak polisi membuka data peserta aksi yang ditahan.
Belakangan, polisi mengancam mengenakan Undang-undang ITE untuk orang-orang yang dianggap menyebarkan hoaks di media sosial. Hoaks yang dimaksud ialah informasi ihwal beberapa pasal ketenagakerjaan di omnibus law yang dinilai tidak benar, seperti penghapusan cuti, pesangon, hingga Upah Minimum Provinsi.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia mengecam tindakan Kepolisian menggunakan pasal hoaks UU ITE. Sebab, hingga kini pun belum ada naskah final UU Cipta Kerja yang telah disahkan. Badan Legislasi DPR mengatakan naskah itu masih dirapikan dari kemungkinan salah ketik.
"Kami mendesak Kepolisian untuk berhenti mengintimidasi gerakan penolakan omnibus law," kata Fraksi Rakyat Indonesia dalam keterangan tertulis, Sabtu, 10 Oktober 2020.
Upaya meredam gerakan penolakan juga dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah. Jumat, 9 Oktober lalu, Presiden Jokowi mengundang para gubernur dan meminta mereka melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja kepada masyarakat. Padahal, para gubernur sebelumnya tak pernah dilibatkan dalam pembahasan aturan yang akan mengamputasi kewenangan mereka tersebut.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga turun tangan. Melalui surat, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam, mengimbau perguruan tinggi menggencarkan pendidikan jarak jauh dan meminta mahasiswa tak menggelar aksi.
Kemendikbud juga meminta para dosen tak memprovokasi mahasiswa melakukan demonstrasi. Kampus diminta melakukan kajian intelektual untuk diserahkan kepada pemerintah dan DPR secara santun.
Padahal, sejak Februari lalu, telah banyak aspirasi disampaikan para dosen dan guru besar terkait omnibus law. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada misalnya, sebelumnya telah mengirim kertas kebijakan (policy paper) kepada pemerintah dan DPR.
Feri Amsari mengatakan cara-cara pemerintah ini sudah menjadi tabiat berulang seperti saat revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Feri tak memungkiri langkah pemerintah ini akan berdampak pada aksi. "Tapi saya pikir harus disadari serangan pasti ada. Tinggal sejauh mana sikap publik untuk bertahan," kata Feri.