Cepatnya pembahasan RUU Cipta Kerja menuai reaksi dari komunitas-komunitas buruh. Mereka menyatakan penolakannya dan berencana menggelar mogok kerja nasional pada 6-8 Oktober 2020.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan mogok nasional itu akan diikuti sekitar 2 juta buruh dari 10 ribu perusahaan dan berlangsung di 25 provinsi di Indonesia. "Setidaknya 32 federasi dan konfederasi di Indonesia telah memutuskan akan melaksanakan unjuk rasa serempak secara nasional yang diberi nama mogok nasional," kata Iqbal dalam keterangan tertulis, Ahad, 4 Oktober 2020.
Selain aksi mogok, buruh akan mengambil tindakan lain sesuai mekanisme konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. "Buruh tidak akan pernah berhenti melawan sepanjang masa penolakan RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh dan rakyat kecil," tuturnya.
Ia menjelaskan mogok nasional ini sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan. “Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” ucap dia.
Said Iqbal mengatakan ada tujuh kesepakatan dalam RUU tersebut yang pihaknya tolak keras.
Pertama, dihapusnya regulasi tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) bersayarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Said Iqbal menilai UMK bersyarat harus tetap ada lantaran setiap kabupaten/kota berbeda nilainya. Bila diambil rata-rata secara nasional, nilai UMK di Indonesia pun lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.
“Tidak adil jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali, dan lain-lain nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” katanya.
Begitu pun dengan keberadaan UMSK. Menurut Iqbal, jalan tengahnya adalah penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Sehingga UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK agar ada keadilan.
Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut. “Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ucap dia.