"Sebenarnya awalnya kami tidak bisa masuk karena takutnya terjadi masalah di kemudian hari. Tapi sekarang karena DPR sudah meminta, maka akan kami tindak lanjuti. Kalau ini disetujui kami akan masuk ke area terdampak, tapi menunggu persetujuan dan aturan main dari Kementerian Keuangan," ujar Jefry melalui sambungan telepon kepada Tempo.
Jefry pun mengatakan persoalan tersebut bisa jadi belum selesai lantaran Lapindo juga hingga saat ini masih memiliki utang kepada pemerintah. Pemerintah mencatat total utang perusahaan Lapindo Brantas dan Minarak Lapindo Jaya hingga akhir 2019 sebesar Rp 1,9 triliun. Utang itu terdiri atas utang pokok senilai Rp 773,38 miliar, denda senilai Rp 981,42 miliar, dan bunga Rp 163,95 miliar.
Terakhir, Lapindo tercatat baru membayar utang kepada pemerintah senilai Rp 5 miliar. Utang tersebut terkait dana talangan yang digelontorkan perseroan untuk warga yang terdampak semburan lumpur Lapindo. Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya sempat ingin melunasi utang dengan aset tanah, namun Direktorat Jenderal Kekayaan Negara atau DJKN Kementerian Keuangan mengaku masih akan melihat nilai aset tanah tersebut.
Apabila anggaran Rp 1,5 triliun untuk PPLS disetujui, Jefry mengatakan pihaknya bakal mempergunakannya untuk pembayaran ganti rugi masyarakat di luar maupun di dalam peta area terdampak. Ia mengatakan nilai kerugian yang perlu diganti untuk masyarakat di area terdampak adalah sekitar Rp 755 miliar.
Ia mengatakan duit Rp 1,5 triliun juga adalah anggaran di luar yang telah dialokasikan untuk pekerjaan-pekerjaan teknis yang dilakukan PPLS. "Hanya untuk penanganan sosial kemasyarakatan. Dan ini disebutnya bukan ganti rugi, tapi jual beli tanah dan bangunan. Itu ada Perpresnya sendiri. Itu ada klausulnya untuk pembayaran tanah dan bangunan, ada tim untuk verifikasi," tuturnya.
Selama ini, program pengendalian lumpur Lapindo terdiri atas penanganan luapan, pembangunan tanggul dan infrastruktur lainnya, serta pemeliharaan tanggul dan infrastruktur lain. Adapun yang telah dilakukan adalah pengendalian lumpur dengan mengalirkannya ke Kali Porong.
Selain itu, pemerintah melakukan penataan lingkungan untuk pemanfaatan kawasan sebagai tujuan geowisata dengan memperhatikan lingkungan sekitar, serta pengendalian banjir di kawasan terdampak menggunakan pompa pengendali.
Jefry berujar selama ini persoalan belum rampungnya pembayaran ganti rugi bagi korban lumpur di dalam dan luar area terdampak bukan hanya perkara anggaran. Ia mengatakan PPLS sebetulnya sudah memegang alokasi anggaran untuk mengganti rugi bagi masyarakat di luar daerah area terdampak, namun dananya diblokir.
Pemblokiran tersebut berkenaan dengan aturan perundangan mengenai PPLS. Jefry mengatakan setelah dihapusnya Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, tugas dari badan tersebut diserahkan ke Kementerian PUPR. Tugas dan fungsi dari PPLS di bawah Kementerian PUPR sudah diatur dalam sebuah Peraturan Presiden.
"Tapi penjabaran kita ke Permen ada permasalahan sedikit. Sehingga, kemarin Permen organisasi PUPR sudah oke, harapannya tahun ini blokir sudah gugur dan kami bisa menyelesaikan beberapa permasalahan ganti rugi," ujar Jefry.
Kini, dia mengatakan pihaknya bakal mulai menyelesaikan satu per satu masalah di sana. Mulai dari menyelesaikan permasalahan aturan untuk membuka blokir anggaran tersebut, permasalahan sosial seperti perkara wakaf, hingga penyiapan aturan main ganti rugi bagi masyarakat apabila anggaran Rp 1,5 triliun yang diajukan kementerian telah disetujui.
"Mari doakan, ini kan sudah mau 15 tahun dan masyarakat sudah menuntut, mereka sudah ngamuk sama saya untuk menyelesaikan masalah ini," ujar Jefry. "Tolong bersabar, mudah-mudahan ke depan di 2021 kalau Rp 1,5 triliun disetujui, maka ada kucuran dana, sehingga persoalan ini bisa diselesaikan bertahap."
Tempo mencoba menghubungi Dwi Cahyani, pemilik perusahaan rotan PT Victory Rottanindo yang terendam lumpur, terkait ganti rugi tersebut. Namun hingga berita diturunkan telepon maupun pesan yang dilayangkan Tempo tidak direspons. Begitu pula pengusaha lain, Tedy.
Pada Agustus 2015, Dwi mengatakan, total aset 25 pengusaha yang menjadi korban lumpur Lapindo kurang lebih Rp 800 miliar.
Tempo juga mencoba menanyakan soal utang Lapindo kepada pemerintah kepada juru bicara Lapindo Brantas Lalumara Satriawangsa. Namun hingga berita diturunkan, panggilan maupun pesan yang dilayangkan Tempo belom dibalas.
CAESAR AKBAR