Dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi mendorong pemerintah menerbitkan perpu lantaran regulasi yang ada belum memadai untuk memastikan pelaksanaan tahapan pilkada sesuai protokol Covid-19. Ia mengatakan penerapan protokol kesehatan sulit jika hanya disandarkan pada penyelenggara pemilu. Apalagi, sanksi bagi pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan pun belum diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Fahmi pun mengusulkan sejumlah hal yang perlu diadopsi dalam perpu. Pertama ihwal metode kampanye yang boleh dilakukan dan tak boleh dilakukan. Persoalan kampanye tengah disorot saat ini lantaran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2020 ternyata membolehkan kampanye dengan metode konser musik.
Meski ada batasan maksimal diikuti 100 peserta, banyak pihak khawatir konser musik memicu kerumunan yang lebih besar. Adanya kerumunan pun dikhawatirkan menjadi klaster penyebaran virus corona.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memberikan sambutan pada acara kampanye protokol kesehatan di Polda Metro Jaya, Kamis, 10 September 2020. Polda Metro Jaya menggelar acara bertajuk 'Pembagian Masker Secara Serentak, Kampanye Jaga Jarak, Hindari Kerumunan dalam Rangka Operasi Yustisi Penggunaan Masker dan Pilkada 2020 yang Aman, Damai, dan Sehat'. Dengan adanya kampanye tersebut, diharapkan kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan, khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 bisa berjalan dengan baik dan selamat. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Selain metode kampanye, Fahmi mengatakan perpu juga mesti mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, termasuk siapa yang bertugas melakukan penindakan. Ia menyarankan sanksi bagi pasangan calon bukan sekadar teguran.
"Barangkali arah sanksinya itu ke hal-hal yang sifatnya elektoral, misalnya enggak ikut tahapan berapa lama," kata Fahmi.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan perlunya sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan di tahapan pelaksanaan Pilkada 2020. Titi mengatakan pengaturan sanksi ini perlu dilakukan melalui revisi Undang-undang Pilkada, baik lewat perpu atau revisi terbatas.
"Kalau pemerintah memang ingin pilkada dan tidak mau ditunda, maka pilihan logisnya revisi UU Pilkada," kata Titi.
Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro mengatakan belum mendengar kabar ihwal rencana Istana menerbitkan perpu Pilkada. "Saya belum mendengar ada rencana itu," ucap dia pada Tempo.
AHMAD FAIZ | FRISKI RIANA | BUDIARTI UTAMI PUTRI