TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya memilih menginjak rem darurat masa transisi dan kembali ke pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Masa transisi selama 3 bulan terbukti gagal membuat masyarakat mau beradaptasi dengan kebiasaan baru atau new normal.
"Hal itu (rem darurat) dilakukan untuk menekan angka penularan Covid-19 yang semakin naik pada PSBB Masa Transisi Fase 1,” ujar Anies melalui keterangan resminya yang disampaikan pada Rabu malam, 9 September 2020.
Pada masa PSBB Transisi Fase 1, angka positivity rate Covid-19 di Ibu Kota melonjak hingga menyentuh 13 persen. Padahal saat PSBB, rasio kasus positif DKI sempat di bawah 5 persen. Anies Baswedan pernah bilang tak segan menginjak rem darurat kembali ke PSBB jika angka positivity rate di atas 10 persen, atau kategori bahaya.
Dokter di RS rujukan Covid-19 sudah kewalahan karena pasien yang terus berdatangan sementara ruang isolasi dan ICU hampir penuh terisi. Kabar buruk lain datang dari TPU Pondok Ranggon yang diperkirakan bakal penuh terisi makam jenazah Covid-19 dalam dua bulan ke depan.
Petugas memakamkan jenazah COVID-19, di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Selasa, 8 September 2020. Sejak pertengahan Agustus 2020 lalu, jumlah angka kematian di DKI Jakarta terus meningkat. ANTARA/Muhammad Adimaja
Anies berujar indikator utama keputusan menghentikan masa transisi adalah tingkat kematian (Case Fatality Rate) dan tingkat keterisian rumah sakit (Bed Occupancy Ratio) baik untuk tempat tidur isolasi, maupun ICU yang semakin tinggi. Tingkat kematian dan keterisian rumah sakit rujukan Covid-19 telah menunjukkan kondisi darurat.
"Maka, dengan melihat kedaruratan ini, tidak ada pilihan lain bagi Jakarta kecuali untuk menarik rem darurat segera," ucapnya.
Baca: Ruang ICU di RS Rujukan Covid-19 DKI Sudah Terisi 83 Persen
Dengan penerapan kembali PSBB Jilid 2 mulai 14 September 2020, Anies kembali membatasi kegiatan ekonomi dan sosial seperti saat PSBB Jilid 1 pada 10 April hingga 4 Juni lalu. Selama PSBB diterapkan, Pemerintah DKI melarang kegiatan perkantoran beroperasi kecuali 11 bidang usaha esensial yang boleh tetap berjalan dengan operasi minimal.
Adapun seluruh izin operasi tambahan bagi bidang usaha non esensial yang didapatkan ketika masa awal PSBB dahulu, baik oleh Pemprov DKI maupun oleh Kementerian Perindustrian, tidak lagi berlaku dan harus mendapatkan evaluasi ulang bila merasa perlu mendapat pengecualian. "Selain itu, seluruh tempat hiburan harus tutup," ujarnya.