Salah satunya adalah penurunan ICP, dari US$ 65 per barel pada Januari 2020 menjadi US$ 21 per barel pada April 2020. Kondisi ini berdampak pada kinerja keuangan perusahaan. Sebab, mereka harus tetap mempertahankan produksi dan lifting migas, sekalipun margin keuntungan di tingkat hulu kian tertekan.
Sehingga, Februari hingga Mei 2020 pun menjadi masa-masa terberat bagi Pertamina. Pendapatan di sektor hulu pada semester pertama 2020 turun 20 persen, yang menyebabkan tekanan pada laba perusahaan.
Januari 2020, Pertamina masih mencetak laba bersih US$ 87 juta. Namun dari Februari hingga Mei 2020, mereka rugi rata-rata US$ 500 juta per bulan. Beruntung, kondisi ini tidak bertahan lama.
Selepas April dan Mei, ICP sudah merangsek naik kembali ke posisi US$ 41 per barel pada Juli 2020. Hingga akhirnya pada Juli 2020, Pertamina bisa kembali mencetak laba bersih US$ 408 juta.
Namun secara akumulasi, Pertamina tetap masih merugi sepanjang tahun ini dibandingkan tahun lalu. Angkanya sudah bisa ditekan menjadi US$ 360 juta atau setara Rp 5,3 triliun. Untuk diketahui, sepanjang 2019 Pertama mencatakan laba bersih US$ 2,53 miliar.
Di sisi lain, kerugian US$ 360 juta ini membuat target laba perusahaan sepanjang tahun ini kian jauh. Dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020, Pertamina sudah memasang target laba US$ 2,2 miliar hingga akhir tahun nanti.
Direktur Eksekutif Reserach Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto punya pandangan lain. Menurut dia, jika Pertamina sudah berhasil meraup laba pada Juli 2020, maka artinya operasional Pertamina masih normal.