TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah kondisi bisnis yang masih tertekan, PT Pertamina (Persero) terus mencari cara agar keuangan perusahaan tidak terus tekor. Sepanjang semester pertama 2020 kemarin, Pertamina diketahui merugi hingga US$ 767,9 juta atau sekitar Rp 11 triliun (unaudited).
Saat ini, hampir setiap minggu, dewan komisaris duduk bersama dengan para direksi Pertamina untuk memberikan pengarahan. Mereka mencari siasat supaya operasional perusahaan bisa tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19 ini.
"Sekarang juga masih rapat online soal biaya produksi kilang," kata Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kepada Tempo di Jakarta, Kamis, 3 September 2020.
Produksi di kilang memang menjadi salah satu sektor yang sedang diintervensi oleh perusahaan. Untuk memperbaiki kondisi keuangan, Pertamina kini sedang memperbaiki model operasi kilang-kilang mereka.
April 2020, Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman pernah menyebutkan bahwa karakteristik kilang di Indonesia memang berbeda-beda. Dari yang efisien, hingga yang memiliki ongkos produksi yang mahal.
Tapi Fatar memastikan biaya produksi di Indonesia paling tinggi hanya US$ 26 per barel, masih di bawah harga minyak mentah Indonesia (ICP). Masalahnya pada bulan yang sama, di tengah pandemi, ICP sempat anjlok ke posisi US$ 21 per barel.
Inilah yang disampaikan oleh Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini empat hari lalu, Senin, 31 Agustus 2020. Dalam rapat bersama Komisi Energi DPR, bekas Direktur Utama Telkomsel itu menuturkan ada tiga penyebab kerugian Rp 11 triliun tersebut.