Hal senada disampaikan ekonom Indef, Bhima Yudhistira. Ia mengatakan surplus neraca perdagangan Juli 2020 bukan menjadi indikator satu-satunya bahwa pertumbuhan ekonomi akan membaik karena kondisi ini dipicu oleh anjloknya impor bahan baku hingga -34,4 persen dan impor barang modal -29,2 persen. Sedangkan kinerja ekspor di bulan yang sama secara total tercatat – 9,9 persen.
Dengan begitu, kinerja perdagangan Juli 2020 tak dapat menggaransi bahwa Indonesia bakal selamat dari jurang resesi. Untuk menjauhkan Indonesia dari tubir jurang resesi, kata Bima, negara bisa memulihkan konsumsi dan memperbaiki permintaan. Konsumsi diyakini akan naik bila 40 persen masyarakat kelas menengah dan 20 persen masyarakat kelas atas yakin untuk berbelanja. Sebab, kedua kelompok itu menguasai 82,1 persen belanja nasional.
Guna meyakinkan masyarakat untuk membelanjakan uangnya, Bhima berujar pemerintah harus menjamin keamanan mereka di pusat perbelanjaan. “Bagaimana mau belanja sedangkan mereka khawatir keselamatan dirinya. Ada ongkos biaya kesehatan yang jadi trade off dengan aktivitas konsumsi di pusat perbelanjaan,” ucapnya.
Adapun Direktur Riset Center of Reform on Economics atau Core Indonesia Piter Abdullah mengatakan pemerintah bisa mendorong aktivitas ekonomi asal wabah lebih dulu diselesaikan. Musababnya, selama pandemi masih melanda, pelbagai kegiatan ekonomi masih akan dibatasi.
“Investasi dan konsumsi masih akan terkontraksi. Kalau konsumsi dan investasi terkontraksi, pertumbuhan ekonomi akan negatif. Resesi tidak terelakkan,” katanya. Ia pun meminta pemerintah tidak berpuas dengan surplus neraca perdagangan yang dicatatkan BPS. Sebab, menurut Piter, surplus neraca perdagangan tidak berhubungan dengan ancaman resesi.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | LARISSA HUDA
Baca juga: Neraca Dagang Surplus, Erick Thohir: Banyak yang Mengira Kita Runtuh Duluan