Dia merinci, peluang ekspor non-migas yang dapat ditangkap ke depan meliputi tanaman obat aromatik dan rempah-rempah, sarang burung, kopi, sayuran, dan biji kakao. Kemudian, industri pengolahan meliputi logam dasar mulia, minyak kelapa sawit, besi baja, pakaian jadi, serta kendaraan bermotor roda empat dan lebih.
Meski neraca perdagangan menunjukkan tren positif, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad memperkirakan bakal sulit menghindarkan Indonesia dari ancaman resesi pada kuartal III mendatang. Sebab, pada kuartal II lalu, pertumbuhan ekonomi negara sudah terpuruk di palung yang curam, yakni -5,3 persen. Namun, ia mengatakan masih ada peluang bahwa resesi tidak akan terlampau dalam bila pemerintah bisa menambal kinerja ekspor-impor; juga konsumsi, investasi, dan belanja negara.
Kinerja ekspor bisa dipacu dengan pendekatan kerja sama dengan negara-negara yang memiliki potensi seperti Swiss. “Ekspor kita kemarin ke Swiss melonjak tinggi. Padahal biasanya Cina, Amerika, Singapura adalah yang porsinya terbesar. Ternyata di Swiss, komoditas kita seperti minyak nabati dan produk kerajinan diminati,” katanya.
Indonesia juga bisa melihat peluang dari negara-negara eksportir yang sedang menahan ekspornya untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Ia pun menyarankan pemerintah segera melakukan renegosiasi terhadap berbagai negara.
Sementara itu, untuk menjaga stabilitas produksi dalam negeri, Indonesia juga harus menjaga hubungan baik dengan negara-negara pengimpor, seperti Cina. Indonesia, kata Tauhid, bisa memanfaatkan momentum ini sekaligus untuk menangkap peluang relokasi industri yang dapat memperkuat basis ekspor.
“Caranya harus jor-joran kasih insentif agar kita bisa bersaing dengan Vietnam,” ucapnya. Di samping itu, ia mendesak pemerintah untuk menjaga basis ekstraksi sumber daya alam. Produk-produk yang diekspor nantinya harus berorientasi pada komoditas yang memiliki nilai tambah yang tinggi dan tidak melulu menggerogoti sumber data.
Tauhid mengakui, saat ini perdagangan global cukup terganggu karena beberapa negara sudah mengalami resesi. Thailand, misalnya. Negara Gajah Putih ini mengkonfirmasi masuk jurang resesi setelah mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar -12,2 persen. Padahal, Thailand menempati porsi ekspor 4,8 persen dari total perdagangan Indonesia.