Lebanon telah diatur oleh sistem pembagian kekuasaan sektarian sejak kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1943. Kepala negara harus seorang Kristen Maronit, perdana menteri seorang Muslim Sunni dan ketua parlemen seorang Muslim Syiah.
Sistem ini, yang berasal dari Pakta Nasional 1943, secara historis menyebabkan pembentukan pemerintahan yang mandek, pemerintahan yang gagal, dan bentrokan berlarut-larut hingga perang saudara, menurut lembaga think thank Atlantic Council.
Sistem itu bertujuan untuk mewakili total 18 komunitas agama, yang terdiri dari empat Muslim, 12 Kristen, sekte Druze dan Yudaisme. Meskipun dirancang untuk memastikan perwakilan semua komunitas agama, sistem tersebut telah membantu menimbulkan krisis demi krisis di Lebanon, memuncak dalam perang saudara dari tahun 1975 hingga 1990.
Para pengkritik mengatakan sistem itu menghalangi pembentukan negara pusat yang efektif karena masing-masing pemimpin sektarian memiliki agenda regional dan kepentingan pribadi.
Saad al-Hariri, Perdana Menteri Lebanon mengundurkan diri setelah gelombang unjuk rasa akibat krisis ekonomi. Sumber: Reuters / Benoit Tessier/RT.com
Partai-partai utama yang mendominasi Lebanon adalah Sunni, Syiah, Druze, dan Kristen, di mana semuanya berupaya berebut pengaruh di negara bagian yang telah mereka eksploitasi untuk tujuan mereka sendiri, sambil saling menyalahkan atas kekacauan tersebut.
Yang paling kuat adalah gerakan Syiah Hizbullah yang didukung Iran dan bersenjata lengkap, yang oleh Amerika Serikat disebut sebagai organisasi teroris dan dianggap sebagai ancaman global. Kelompok ini sekarang terlibat lebih dalam ke urusan kenegaraan daripada sebelumnya.
Lebanon mulai bangkit dari perang saudara pada 1990 atas inisiatif Perdana Menteri Rafik Hariri. Namun, pembangunan kembali kontroversial dan banyak yang menyalahkan krisis saat ini, setidaknya dalam dimensi fiskal, pada cara yang digunakan untuk menghidupkan kembali pusat kota Beirut. Proyek rekonstruksi sebagian besar dilakukan melalui Solidaire yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh keluarga Hariri dan investor kaya dari Teluk, menurut Atlantic Council.
Kontroversi juga memicu persaingan sengit oleh berbagai faksi Lebanon untuk mendapatkan kontrak dan jatah investasi di perusahaan asing yang diundang untuk proyek modernisasi lainnya. Solidaire pada dasarnya membuka jalan baru untuk praktik korupsi lebih luas. Transparency International memberi peringkat Lebanon 137 dari 180 negara paling Korup pada 2019.
Sudah menjadi jelas, setidaknya sejak demonstrasi yang dimulai pada Oktober 2019, bahwa apa yang diprotes orang Lebanon bukanlah sekadar kasus kesalahan manajemen keuangan, tetapi sistem cacat yang fundamental yang menempatkan sektarianisme, feodalisme, dan korupsi pada setiap keputusan yang dibuat di setiap tingkat pemerintahan.
Rakyat di ambang batas kesabaran