TEMPO.CO, Jakarta - Hagia Sophia yang menjulang di Tanduk Emas kembali dialihfungsikan menjadi masjid untuk pertama kalinya sejak 86 tahun setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengubah statusnya pada Jumat.
Pengadilan Turki menganulir status museum Hagia Sophia 1934 yang diberlakukan pada masa pemerintahan sekuler Mustafa Kemal Ataturk.
"Ini adalah saat-saat paling kami nantikan, yaitu mendengar suara-suara azan di Hagia Sophia!" kata Erdogan.
Mimpi Erdogan tidak sekadar mendengar kembali lantunan azan di Hagia Sophia atau yang dikenal sebagai Masjid Agung Ayasofya, tetapi lebih dari itu sebagai manuver politiknya.
"Sebelumnya sekelompok NGO memang mengajukan gugatan terhadap pengalihan status Hagia Sophia atau Ayasofya yang sebelumnya museum menjadi masjid. NGO yang mengajukan gugatan mendasarkan argumen bahwa ketika ditaklukkan Hagia Sophia menjadi masjid. Sehingga terlihat bahwa kebijakan Presiden Erdogan merupakan aspirasi publik," kata Dosen Magister Kajian Ketahanan Nasional-SKSG UI dan penulis buku "Recep Tayyip Erdogan: Revolusi dalam Sunyi" kepada Tempo 14 Juli 2020.
Warga melintasi bangunan Hagia Sophia, Istanbul, Turki, 10 Juli 2020. Hagia Sophia pada awalnya dibangun sebagai basilika bagi Gereja Kristen Ortodoks Yunani. Namun, fungsinya telah berubah beberapa kali sejak berabad-abad. Xinhua/Osman Orsal
Syahroni mengatakan motivasi Erdogan mengalihfungsikan Hagia Sophia bisa dilihat dari sisi ideologis dan pragmatis. Erdogan memiliki ideologis cita-cita Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) karena Turki mencapai puncak keemasan pada periode tersebut sehingga Erdogan menghidupkan narasi Ottoman untuk konteks saat ini. "Sementara terkait aspek pragmatis, boleh jadi Erdogan ingin tetap memelihara dukungan kelompok konservatif yang dalam beberapa kesempatan memang memiliki keinginan untuk mengembalikan status Hagia Sophia menjadi masjid."
Kehadiran partai baru Partai Gelecek pimpinan Ahmet Davutoglu dan Partai Deva pimpinan Ali Babacan yang merupakan eks AKP (partai pimpinan Erdogan) berpotensi mengambil suara kelompok konservatif, sebelum itu terjadi boleh jadi langkah ini bisa meredam perpindahan dukungan, kata pakar Hubungan Internasional lulusan Doktor Marmara University itu.
Partai AK Erdogan kalah telak dalam pemilu wali kota Istanbul yang dimenangkan oposisi dari Partai Rakyat Republik (CHP) Ekrem Imamoglu dan mengakhiri dominasi 25 tahun Partai AK di ibu kota.
Studi Eurasia Public Opinion Research Centre (AKAM) yang dirilis pada Mei 2020 mengungkapkan Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu dapat mengalahkan Erdogan dengan selisih kecil jika pilpres digelar saat itu.
Lebih dari 40 persen peserta dalam survei mengatakan mereka akan memilih Erdogan, sementara 45,5 persen lebih memilih Imamoglu, menurut studi AKAM, yang dilaporkan Ahval News.
"Kekalahan AKP di Istanbul memang menjadi alarm bagi Erdogan dan kader AKP. Kekalahan di Istanbul tidak lepas dari pecahnya basis suara yang selama ini seratus persen mendukung AKP. Keluarnya Davutoglu dan Babacan dengan mendirikan partai baru juga memiliki kontribusi. Davutoglu punya magnet untuk kalangan konservatif sementara Babacan punya magnet untuk kalangan liberal," kata Syahroni.
Kebijakan tersebut, kata Syahroni, mungkin bisa menaikkan elektabilitas di kalangan konservatif seperti pendukung Partai Saadet. Namun secara umum figur Erdogan memang masih menjadi penentu permainan. Figur Erdogan masih terlalu kuat untuk dikalahkan figur-figur oposisi. "Apalagi belakangan Ekrem Imamoglu yang diharapkan bisa menjadi penantang Erdogan tidak menunjukkan hasil maksimal sebagai wali kota. Kegagalan Ekrem Imamoglu justru bisa membuat pemilih kembali memilih figur dari AKP."
Smith Al Hadar, pengamat Timur Tengah dan penasihat dari lembaga wadah pemikir Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), mengatakan menurunnya dukungan politik terhadap Erdogan karena kesalahan kebijakan ekonomi rezim bahkan sebelum virus corona. Itu terlihat dari kalahnya partai Keadilan dan Kemakmuran pimpinan Erogan dalam sejumlah pilkada, terutama di ibu kota Ankara dan Istanbul. "Dalam konteks melemahnya dukungan rakyat pada rezim Erdogan seiring dengan terpuruknya ekonomi, Erdogan mengalihkan kembali fungsi museum Hagia Sophia menjadi masjid dalam rangka menarik dukungan rakyat yang mulai melemah," ujar Smith.
Pengunjung berfoto-foto di Hagia Sophia, Istanbul, Turki, 10 Juli 2020. Ketika Ottoman (Utsmaniyah), dipimpin oleh Kaisar Fatih Sultan Mehmed, yang dikenal sebagai Mehmed sang Penakluk, merebut Konstantinopel pada tahun 1453, Ottoman mengganti nama kota Konstantinopel menjadi Istanbul dan mengubah Hagia Sophia sebagai masjid agung. Xinhua/Osman Orsal
Arya Sandhiyudha, Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) dan peraih gelar Doktor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Istanbul University, memaparkan polling MetroPOLL Aratrma di Turki, yang menunjukkan bagaimana sikap warga para pemilih parpol di Turki mengenai kebijakan Hagia Sophia.
"Betapa mengejutkan melihat ada 50% pemilih MHP (Partai Gerakan Nasionalis) yg setuju mempertahankannya sebagai museum; dan sekitar 21% pemilih CHP menginginkan pengembaliannya sebagai fungsi masjid. Jadi elemen politik domestik Saya duga tetap menjadi pertimbangan utama Erdogan," kata Arya Sandhiyudha kepada Tempo.
Kebijakan Hagia Sophia dipilih Erdogan karena memang punya magnet sebagai kekuatan pemersatu dari sekian ragam simbol bersejarah di Turki, kata Arya. "Itulah yang dipilih di tengah kondisi popularitasnya yang melemah di Turki, terutama di dua kota terbesar: Ankara dan Istanbul."
Arya mengatakan perubahan status Hagia Sophia selalu digunakan untuk menambah pundi-pundi dukungan bahkan ketika isu ini diangkat sejak 1950-an. Status Hagia Sophia, menurut Arya, merupakan agenda kampanye politik AKP dan perang budaya dengan partai-partai yang mengidentikkan diri dengan haluan Kemalis, baik MHP dan CHP.
Erdogan, di samping memikirkan momentum politik domestik yang hendak dicapainya, memang akhirnya dipersepsi memiliki tujuan lain di balik kebijakan Hagia Sophia seperti kebijakan luar negeri terhadap Yunani, kalangan Kristiani internasional, meraih simpati kalangan Islamis global dan dunia Muslim, atau bahkan agenda mengambil alih Israel, kata Arya Sandhiyudha.
Reaksi Dunia