TEMPO.CO, Jakarta - Surat tertanggal 2 Juni 2020 itu ditandatangani Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri untuk Kementerian Koordinator Bidang Perkonomian. Isi surat tersebut adalah temuan sejumlah masalah dan rekomendasi KPK atas pelaksanaan program pelatihan Kartu Prakerja .
Dalam surat itu, KPK menyatakan telah mengkaji dokumen, mewawancarai para pemangku kepentingan, serta mencari informasi lain. Dari hasil kajiannya, KPK mengidentifikasi sejumlah masalah dalam tahap pendaftaran peserta, kemitraan dengan platform digital hingga materi pelatihan.
Aspek pertama adalah proses pendaftaran. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menuturkan, Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan telah mengkompilasi data pekerja yang terkena PHK dan sudah dipadankan NIK-nya berjumlah 1,7 juta pekerja terdampak.
"Namun, faktanya hanya sebagai kecil yang mendaftar secara daring, yaitu hanya 143 ribu. Sedangkan sebagian besar pendaftar yaitu 9,4 juta pendaftar bukan target yang disasar," ujar Alex melalui konferensi pers daring pada Kamis, 18 Juni 2020.
Kemudian, KPK melihat penggunaan fitur face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp 30,8 miliar itu tidak efisien.
"Berlebihan pakai fitur face recognition. Kalau NIK-nya benar, kan langsung keluar semua datanya," ucap Deputi Penindakan KPK Pahala Nainggolan yang juga berada di konferensi pers.
Lalu, untuk aspek kedua yakni kemitraan dengan platform digital. KPK mendapati kerja sama dengan delapan platform digital tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Alex pun menyebut jika 5 dari 8 plaftorm digital yang tergabung memiliki konflik kepentingan. "Sebanyak 250 pelatihan dari 1.895 pelatihan yang tersedia memiliki konflik kepentingan dengan platform digital," ucap dia.
Selanjutnya, aspek ketiga adalah materi pelatihan. Alex mengatakan, kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. Pelatihan yang memenuhi syarat baik materi maupun penyampaian secara daring hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan.
Selain itu, materi pelatihan tersedia melalui jejaring internet dan tidak berbayar. Dari 1.895 pelatihan dilakukan pemilihan sampel didapatkan 327 sampel pelatihan. Kemudian dibandingkan ketersediaan pelatihan tersebut di jejaring internet.
Hasilnya 89 persen dari pelatihan tersedia di internet dan tidak berbayar termasuk di laman prakerja.org.
Aspek terakhir adalah pelaksanaan program. "KPK menemukan metode pelaksanaan program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya
oleh peserta," kata dia.
Ada dua faktor, kata Alex, yang menjadi alasan mengapa KPK menemukan program pelatihan berpotensi fiktif. Pertama, lembaga Pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih.
"Kedua, peserta sudah mendapatkan insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli, sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta," ujar Alex.
Direktur Kemitraan dan Komunikasi Manajemen Pelaksana Pra Kerja, Panji Winanteya Ruky menanggapi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membeberkan sejumlah permasalahan dalam program Kartu Prakerja. Temuan itu menjadi masukan untuk Komite Cipta Kerja dalam evaluasi program. Baik dari kebijakan, regulasi maupun pelaksanaan.
“Komite akan menelaah lebih lanjut temuan itu,” ujar Panji melalui pesan singkat, Jumat, 19 Juni 2020.