TEMPO.CO, Jakarta - Langkah Kementerian Perhubungan mengganjar sanksi bagi dua operator penerbangan, yakni PT Angkasa Pura II (Persero) dan Batik Air, dinilai belum cukup memecahkan masalah pelanggaran protokol jaga jarak fisik atau physical distancing. Anggota Ombudsman RI sekaligus pengamat penerbangan, Alvin Lie, memandang, hukuman itu harus disertai dengan audit dan evaluasi operasional secara mendalam.
"Jadi tidak hanya mensanksi. Internal pengawasannya juga harus dilihat. Apakah ada kelalaian, bagaimana supaya tidak terjadi lagi," ujar Alvin kepada Tempo, Rabu, 20 Mei 2020.
Audit atau evaluasi lanjutan ini pun, tutur Alvin, harus dilakukan menyeluruh untuk semua operator penerbangan. Bukan hanya menyasar kepada maskapai dan pengelola bandara yang terbukti melanggar, Kemenhub didesak mengevaluasi lembaga navigasi AirNav Indonesia yang memiliki peran dalam mengatur slot perjalanan pesawat.
Keputusan pemberian sanksi dilakukan setelah Kementerian Perhubungan menggelar investigasi terhadap peristiwa penumpukan penumpang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 14 Mei lalu. Penelaahan mendalam dijalankan selama lebih-kurang lima hari dan melibatkan seluruh direktur di bawah naungan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub serta inspektur penerbangan.
Selama proses investigasi berlangsung, Kemenhub beberapa kali memanggil Batik Air dan Angkasa Pura II untuk dimintai keterangan. Keterangan terakhir dari dua perusahaan itu diberikan beberapa jam sebelum regulator memutuskan memberikan hukuman.
Sesuai hasil investigasi yang keluar pada Selasa petang, 19 Mei, Batik Air dan Angkasa Pura II akhirnya diganjar sanksi sesuai dengan yang tertulis dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 18 tahun 2020, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 78 Tahun 2017. Adapun sanksi yang diterima Batik Air adalah pembekuan untuk rute Jakarta-Denpasar dengan nomor registrasi penerbangan ID 6506.
Penerbangan ini terbukti mengangkut penumpang lebih dari 50 persen dari kapasitas kursi sehingga aturan physical distancing atau jaga jarak fisik tak terpenuhi. Sedangkan sanksi untuk Angkasa Pura II hanya berupa pemberian surat peringatan.
Alvin menyayangkan Kementerian Perhubungan hanya menghukum Batik Air dengan mencabut izin satu rute milik perusahaan. Musababnya, dia yakin pelanggaran yang dilakukan maskapai di bawah naungan Lion Air Group ini bukan hanya terjadi pada satu rute, melainkan di beberapa rute.
"Jadi misalnya Batik Air melanggar protokol jaga jarak mengangkut penumpang lebih dari 50 persen di lima atau 10 penerbangan, masa hanya satu yang dicabut? Keadilannya bagaimana?" tutur Alvin.
Di samping itu, Alvin turut menyoroti lemahnya beleid milik Kementerian Perhubungan yang dipandang tak rinci mengatur ganjaran bagi para pelanggar. "Detailnya, ini peraturan kan juga tidak jelas," ucapnya.