TEMPO.CO, Jakarta -Dewan pengawas Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, dalam rapat tahunan Majelis Kesehatan Dunia atau WHA secara online pada Senin memberikan dukungan terhadap kerja WHO sekaligus tuntutan untuk mengkaji kembali kinerja organ PBB itu.
Dari rapat WHA yang dihadiri 194 negara anggota WHO termasuk negara pemantau, Dewan pengawas menyatakan pihaknya memahami adanya tuntutan sejumlah negara anggota untuk mengkaji kembali kinerja WHO. Namun Dewan mempertimbangkan pengkajian tidak dilakukan dalam situasi panas saat ini karena akan menimbulkan gangguan.
Dewan pun memperingatkan politisasi yang meningkat dalam menanggapi wabah COVID-19 sehingga menghambat upaya mengalahkan virus. WHO tidak dapat berhasil tanpa dukungan politik global yang terpadu.
Seluruh anggota WHO disarankan untuk mengkaji kembali kapasitas dan ukuran dari program-program darurat WHO dengan anggaran yang kurang dari US$ 300 juta. Anggaran sebesar itu dinilai teramat kurang.
WHO membutuhkan sekitar US$ 1,7 miliar sepanjang tahun ini. Itu artinya ada kekurangan yang perlu ditutupi sebesar US$ 1,3 miliar.
Poin penting pernyataan Dewan Pengawas WHO ini merefleksikan situasi yang terjadi dalam empat bulan terakhir sejak wabah COVID-19 muncul pertama di Wuhan, Cina hingga berubah menjadi wabah global.
Di tengah wabah yang membawa dunia masuk dalam resesi parah akibat wabah COVID-19, permusuhan antara Amerika Serikat dengan Cina memanas terkait dengan transparansi dan akuntabilitas WHO dan Cina dalam menangani wabah COVID-19.
Presiden AS Donald Trump bahkan secara terbuka menuding WHO menjadi Cina sentris. WHO di bawah kepemimpinan Tedros Adhanom Ghebreyesus dinilai tidak lagi bekerja secara independen.
Kritik tajam Presiden Trump diikuti dengan penghentian sementara bantuan dana ke WHO. Selama ini, AS menjadi penyumbang terbesar bagi organ PBB itu. AS baru akan menyalurkan kembali dananya setelah pengkajian secara independen terhadap WHO dan kepemimpinan Ghebreyesus rampung.
Presiden Cina Xi Jinping menerima tuntutan pengkajian WHO sebagaimana diminta Presiden Trump. Xi mengajukan syarat, bahwa pengkajian harus dipimpin WHO. Pernyataan Xi ini memunculkan tanda tanya mengeluarkan pernyataan seperti itu.
Beberapa hari sebelum Badan Pengawas WHO mengadakan rapat tahunan, AS, Australia, Kanada, Prancis, dan Jerman meminta dilakukan investigasi mengenai bagaimana Cina menangani wabah dalam bingkai WHO.
Negara yang didominasi sekutu AS di Eropa dan Australia secara jernih meminta investigasi atas asal mula virus di Cina. Tuntutan investigasi ini untuk menjawab apakah Cina di awal wabah ini berusaha menutup-nutupi atau Beijing lamban untuk memberitahukan kepada dunia mengenai virus itu menular dari manusia ke manusia.
Dalam laporan Reuters 18 Mei, semakin bertambah negara yang memberikan dukungan untuk dilakukan penyelidikan independen terhadap pandemi COVID-19. Rusia disebut telah bergabung dengan 100 negara mendukung resolusi di Majelis Kesehatan Dunia yang menggelar sidang tahunan virtual kemarin dan hari ini.
Resolusi untuk melakukan penyelidikan independen atas pandemi COVID-19 digagas Uni Eropa dan Australia.
Cina marah atas manuver 100 negara yang menuntut resolusi dikeluarkan untuk melakukan penyelidikan tentang pandemi COVID 19. Cina menuduh Canberra melakukan tindakan sangat tidak bertanggung jawab yang dapat menganggu kerja sama internasional dalam memerangi pandemi dan bertentangan dengan aspirasi bersama.
Taiwan belakangan mengeluarkan kritikan terhadap WHO yang dinilai sudah dikendalikan Cina setelah WHO tidak mengundang negara itu menghadiri rapat tahunan Majelis Kesehatan Dunia tahun ini.
Taiwan sejak 2009 hingga 2016 berpartisipasi dalam rapat Majelis Kesehatan Dunia dengan status pemantau. Namun untuk 3 tahun terakhir tidak mendapat akses untuk ikut serta.
Cina menghalangi keikutsertaan Taiwan karena menolak syarat yang diajukan bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina.
Taiwan kecewa atas sikap WHO yang dianggap tidak independen dalam memutuskan keikusertaan Taiwan.
"Kementerian Luar Negeri menyatakan penyesalan mendalam dan ketidakpuasan yang kuat bahwa Sekretariat Organisasi Kesehatan Dunia menyerah pada tekanan dari pemerintah Cina dan terus menerus mengabaikan hak kesehatan 23 juta orang di Taiwan," ujar Joseph Wu, menteri luar negeri Taiwan kepada wartawan, sebagaimana dilaporkan Reuters.
Presiden Cina Xi Jinping dalam pidatonya dalam rapat Majelis Kesehatan Dunia kemarin mengatakan, Cina mendukung evaluasi komprehensif yang dilakukan secara imparsial. Syaratnya, setelah wabah global COVID-19 dapat dikendalikan.
Presiden Xi tidak secara gamblang mendukung investigasi atas asal mula virus Corona yang telah menewaskan lebih dari 310 ribu orang di berbagai negara.
Begitupun keputusan ada di tangan Majelis Kesehatan Dunia sebagai badan yang diberi wewenang untuk membuat keputusan.
WHO saat ini dalam posisi yang sulit melepaskan diri dari kecurigaan negara-negara anggotanya yang mengkritisi independensinya dan imparsialitasnya.
Sejak awal virus corona muncul pertama kali di Wuhan, Direktur Eksekutif WHO Ghebreyesus sudah jadi sorotan AS karena kedekatannya dengan Cina.
Merujuk pada Konstitusi WHO, jika terjadi sengketa di lembaga kesehatan dunia ini yang tidak terselesaikan, maka sengketa ini akan dibawa ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Mahkamah ini merupakan organ hukum PBB.
Beberapa pakar kesehatan dan hukum meragukan hal itu karena Cina pasti akan menghentikan langkah itu karena putusan Mahkamah Internasional akan dibawa dan diputuskan di Dewan Keamanan PBB. Di badan ini Cina memiliki hak veto.
Jika pun terjadi, maka WHO akan mencatatkan sejarahnya bahwa untuk pertama kali sengketa antar anggota dibawa ke Mahkamah Internasional semata-mata untuk membuktikan apakah WHO bekerja sungguh independen dan imparsial terhadap seluruh anggotanya.
Ironisnya, masalah ini terjadi justru saat dunia masih berjuang menyelamatkan jiwa-jiwa dari serangan virus corona ketika vaksin dan obat belum ditemukan. Tidak seorangpun mampu memprediksikan kapan penawar virus ini akan ditemukan dan dimanfaatkan manusia.