TEMPO.CO, Jakarta - Ajakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menerapkan tatanan hidup baru atau new normal dan hidup bersama Covid-19 menuai kritik. Perwakilan Koalisi Warga untuk LaporCovid-19, Irma Hidayana, menilai rencana new normal yang akan diiringi dengan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini tak berdasarkan data yang memadai.
Wacana pelonggaran PSBB dan berdamai dengan Covid-19 tanpa dibekali data dan bukti yang kuat. “Kurva epideminya mana? Apakah kita sudah punya?" kata Irma dalam diskusi virtual, Ahad, 17 Mei 2020.
Menurut Irma, tren jumlah kasus Covid-19 justru menunjukkan kenaikan. Baik angka Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), kasus positif, maupun data pasien yang meninggal. Data ini berbeda dengan klaim-klaim pemerintah yang menyebut bahwa kasus Covid-19 cenderung melandai.
"Keputusan transisi menuju ‘new normal’ dengan membuka kembali aktivitas ekonomi harus didasari pada indikator yang terukur dengan data-data yang bisa dipercaya secara ilmiah dan transparan,” ujar dia.
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai pernyataan Jokowi tentang new normal itu upaya lepas dari tanggung jawab. Ubedilah juga mempertanyakan riset untuk pemberlakuan new normal itu. "Itu sama saja pemerintah membuka sebuah lapangan untuk bunuh diri massal," kata Ubedillah, Senin, 18 Mei 2020.
Baca Juga:
Riset ini juga dipertanyakan anggota Komisi Kesehatan atau Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Saleh Partaonan Daulay. Menurut dia, perlu ada pengujian ilmiah dan akademis oleh para ahli terlebih dulu sebelum kebijakan itu diberlakukan.