TEMPO.CO, Jakarta - Meski sempat tertunda, rencana pemerintah untuk melibatkan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam mengatasi terorisme jalan terus. Kini malah memasuki babak baru.
Pekan lalu, draf peraturan presiden (perpres) tentang hal tersebut sudah dimasukkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dimintakan pendapat.
"Draf Perpres tersebut dengan surat pengantarnya dari Menkumham masih di Pimpinan DPR," kata politikus Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani kepada Tempo hari ini, Senin, 11 Mei 2020. "Belum dibahas seperti apa masukan dari DPR."
Perpres Pelibatan TNI Mengatasi Terorisme merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam Pasal 43 I Ayat 1 disebutkan tugas TNI dalam mengatasi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Pada ayat 3 tertulis soal pelibatan TNI tersebut diatur dalam perpres.
Sejak tahun lalu, rencana pembuatan perpres iyu mendapat tentangan. Pelibatan TNI dianggap tak relevan dengan Undang-Undang TNI dan dinilai berbahaya bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga yang fokus pada isu HAM menilai aturan pelibatan TNI dalam menumpas terorime memberikan mandat yang luas dan berlebihan kepada TNI.
Terlebih pengaturan tersebut tidak diikuti mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum.
Menurut koalisi, kondisi itu membuat penanganan terorisme oleh TNI lewat fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan (Pasal 2 Rancangan Perpres) memberi cek kosong bagi militer yang berbahaya.
"Jika terjadi kesalahan dalam operasi yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, mekanisme pertanggungjawabannya tidak jelas," kata peneliti Imparsial, Husein Ahmad, dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 9 Mei 2020.
Deputi Koordinator KontraS, Feri Kusuma, menuturkan bahwa pengaturan fungsi penangkalan seperti yang tertuang dalam pasal 3 rancangan perpres sangat luas. Namun tanpa penjelasan yang lebih rinci.
Dia berimbas, imbas kelemahan aturan tersebut TNI berhak terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri.
Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai istilah penangkalan tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut dia, UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan yang dikoordinasikan oleh BNPT. Pada pasal 7 rancangan perpres, TNI diberi kewenangan melakukan pencegahan.
"TNI diberi kewenangan melakukan pencegahan."
Maka Koalisi Masyarakat Sipil meminta DPR menolak rancangan perpres tersebut.
Dave Laksono, politukus Partai Golkar dari Komisi 1, menilai perpres ini diperlukan. Di sisi lain setiap matra TNI memiliki pasukan antiteror yang sangat terlatih dan mumpuni.
"Sepatutnya TNI diberikan kewenangan yang jelas dalam mengatasi serangan terorisme sesuai dengan UU TNI," ucap putra politikus senior Golkar Agung laksono itu.
Dave menerangkan bahwa penuntutan dan penyidikan kasus terorisme tetap jadi kewenangan Polri. Fungsi TNI nantinya lebih pada pengamanan aset-aset dan lambang negara yang tertera dalam undang-undang.
Dia melihat perpres tak akan mengurangi atau bahkan mengambil alih peran Polri dan Densus 88/Antiteror Mabes Polri.
"Butuh landasan hukum untuk pelibatan TNI, demi kepastian hukum."
Istana pemerintah belum mau berkomentar banyak. Staf Khusus Presiden Joko Widodo di bidang hukum, Dini Purwono, mengatakan dia masih perlu mempelajari draf perpres dan masukan dari masyarakat.
Dini bahkan mengatakan belum mengetahui apakah draf sudah di DPR. Ia mengatakan dari info yang ia miliki draf perpres masih di Kementerian Pertahanan.
"Coba saya double check lagi, ya," ujar Dini.
Pengamat keamanan dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpendapat jika mengacu pada Undang-Undang Terorisme memang perlu perpres yang mengatur tugas TNI.
Perpres mestinya untuk mempertegas batasan peran, kewenangan TNI, kapan boleh dilibatkan, kapan harus dan kapan tidak boleh dilibatkan.
Yang terjadi, isi draf perpres yangberedar justru di luar ekspektasi publik. Khairul melihat justru isi draf perpres aka lebih banyak negatifnya jika tetap dilaksanakan.
Ia mencontohkan soal penindakan. Perpres itu menentukan bentuk-bentuk teror yang mengharuskan keterlibatan TNI. Nah, ada bentuk tindakan TNI di dalam negeri yang berpotensi memunculkan konflik sektoral dengan Polri.
"Hal itu akan semakin mengaburkan peran dan fungsi BNPT sebagai leading sector penanggulangan terorisme, selain berpotensi kuat melanggar HAM dan hukum acara pidana," kata Khairul.