TEMPO.CO, Jakarta - Program-program bantuan dari pemerintah pusat kepada warga terdampak Covid-19 terkendala pencairan. Sejumlah kepala daerah menilai aturan yang pemerintah buat berbelit-belit dan menimbulkan masalah baru.
Bupati Bolaang Mongondow Timur Sehan Salim Landjar mencak-mencak ke sejumlah menteri karena tidak bisa menyalurkan beras yang sudah dibeli ke masyarakat yang berhak. Ia berdalih program bantuan langsung tunai (BLT) yang pemerintah keluarkan membuat warga penerima manfaat tidak boleh mendapat bantuan lainnya.
"Orang yang dapat BLT, kan, yang paling miskin. Persoalannya semua kepala daerah punya uang buat rakyat yang bisa menalangi untuk memberikan langsung bantuan sembako. Tapi terhambat aturan menteri," katanya saat dihubungi Tempo, Ahad, 26 April 2020.
Di sisi lain, cerita Sehan, BLT yang pemerintah janjikan tak kunjung datang. Warga pun mengeluh karena sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidup imbas Covid-19.
Kepala Desa Nglandung, Kecamatan Geger, kabupaten Madiun, Jawa timur, Pamuji, bercerita pencairan Bansos terkait penanggulangan Covid-19 belum ada yang terealisasi. Tidak boleh tumpang tindih bantuan membuat perangkat desa kebingungan. Terlebih data di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi acuan penyaluran tidak diperbarui.
"Akhirnya desa harus menyisir mana data warga yg masuk DTKS akan mendapat bansos dari Kemensos dan mana yg non-DTKS untuk diberi dana BLT Dana Desa. Sekalipun hanya data ini sangat akan menjadikan sumber mslah besar di desa," tuturnya.
Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Abdullah Azwar Anas, meminta pemerintah pusat menyederhanakan berbagai mekanisme penyaluran bantuan sosial terkait Covid-19. Ia membenarkan jika masalah utama adalah data yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Anas mencontohkan ada seorang warga yang mulanya tidak masuk kategori penerima bantuan tapi dia menjadi miskin karena wabah Corona. Di sisi lain, kata Anas, warga tersebut secara kriteria tidak masuk ke dalam 14 syarat penerima bantuan yang ditetapkan. Bahkan untuk memenuhi sembilan kriteria minimal sebagai penerima bantuan pun susah dipenuhi.
"Posisi perangkat negara di bawah serba dilematis, karena juga rawan konflik dalam penyaluran bantuan ini. Maka perlu diskresi-diskresi dengan pengawalan aparat penegak hukum," katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 27 April 2020.
Menurut Anas memang ada ketentuan penerima salah satu program bantuan tidak berhak mendapatkan bantuan dari program lainnya. Sebabnya saat ini perlu pendataan yang akurat dan cepat. "Problem-problem teknis ini harus dikoordinasikan dengan baik dan fokus pada solusi," tuturnya.
Ia mengusulkan warga-warga yang tidak masuk pendataan penerima bantuan dapat diperhatikan oleh instansi lain seperti lembaga zakat, BUMN, swasta, TNI dan Polri. "Jika kolaborasi ini dilakukan secara tepat dan cepat, Insya Allah bisa optimal dalam membantu warga, karena skema program pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan gotong royong bisa menjangkau masyarakat yang membutuhkan," ucap dia.
Pemerintah pusat mengeluarkan program bantuan jaring pengaman sosial terkait Covid-19 ini melalui Kementerian Sosial dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Bantuan yang melalui Kementerian Sosial adalah: Bantuan sosial reguler (PKH dan BPNT), bantuan sosial khusus (Sembako untuk warga Jabodetabek), bantuan tunai Rp 600 ribu untuk di luar Jabodetabek, dan bantuan tanggap darurat (paket sembako dan santunan kematian). Adapun yang melalui Kementerian Desa adalah bantuan yang diambil dari dana desa (BLT Dana Desa).
Menteri Desa Abdul Halim Iskandar membenarkan jika warga yang sudah mendapatkan BLT dari Kementerian Sosial maka tidak berhak lagi meraih BLT Dana Desa. "Jadi tidak ada overlapping," katanya dalam konferensi pers hari ini, Senin, 27 April 2020.